Day Two - Librarian (Chapter I)

on Thursday, May 27, 2010
I’m back my library!

Bukan perpustakaan miliknya memang. Setidaknya, dia mendapat upah untuk menjaga buku-buku yang ada di perpustakaan ini. Perpustakaan ini sudah serasa rumah keduanya. Sejak lulus kuliah, dia sudah tidak berminat melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang lebih berhubungan dengan jurusannya. Dia cuma tertarik untuk bekerja di perpustakaan, tempat ratusan bahkan ribuan atau mungkin ratusan ribu buku terkumpul.

Dimasukkannya kertas absen pada alat pengabsen otomatis itu. Pagi-pagi begini, tempat ini selalu sepi. Tentu saja, ini kan saat di mana semua orang baru saja memulai harinya, entah bekerja atau menuntut ilmu. Biasanya, yang datang pagi-pagi kemari, adalah peneliti atau para pengangguran, yang sebenarnya memiliki suatu jenis pekerjaan yang lebih baik tidak dieskpos.

Seperti biasa, dia duduk menunggu pengunjung sambil membaca buku. Dia memang lebih menyukai fiksi-fiksi yang bertebaran di rak sisi kanan daripada sudut belakang perpustakaan. Isinya tentang sejarah, sains, dan entah tentang apalagi. Berat yang pasti. Butuh berkali-kali dibaca baru bisa dimengerti. Ya, kegemarannya membaca memang lebih terpusat pada kisah-kisah fiksi yang dibuat oleh para pengarangnya.

* * *

Tangan pendek sang waktu baru mendekati angka sembilan ketika pengunjung pertama datang. Anak-anak. Laki-laki. Rambut biru? Pengunjung pertamanya itu melenggang masuk begitu saja. Tidak mengindahkan dirinya, buku tamunya, dan rak penyimpanan tas.

“Hei, Nak.”

Langkah anak itu terhenti segera lalu diam di tempat. Tidak ada tolehan untuk memperlihatkan wajahnya pada si pemanggilnya. Sopan sekali.

“Isi buku tamu dan letakkan tasmu di rak. Bisa?”

Akhirnya, anak itu berbalik dengan wajah tertunduk. Mengisi buku tamu dengan tulisan yang tidak terlalu rapi. Ditatapnya wajah anak itu. Percuma menunduk, anak kecil. Wajahmu terlihat jelas dari sini. Tertegun sejenak ketika kejelasan wajah kurus itu merasuki pemahamannya. Memar di mana-mana dan sedikit darah di ujung bibir dan alis. Belum sempat dia bereaksi pada wajah itu, anak itu sudah beranjak mendekati rak penyimpanan tas di mana dia meletakkan tasnya dengan buru-buru. Setelah itu, dia segera melangkah cepat memasuki perpustakaan.

Ah, memar apa itu? Dilihat dari tubuhnya yang pendek, kecil, dan kurus, sepertinya anak itu masih seorang pelajar tingkat dasar. Kelas satu atau dua, mungkin. Rambutnya aneh. Jarang atau hampir tidak pernah sebenarnya, dia menemui seorang anak-anak dengan rambut dicat. Orang tua biasanya tidak akan mengizinkan. Nah, kalau rambut anak sekecil ini sudah dicat, mungkin saja dia bukan anak baik-baik. Lagipula, ada memar di wajahnya. Seragam yang dipakainya juga tidak lagi bersih. Noda tanah dan darah tersebar di mana-mana. Padahal masih sepagi ini.

0 comments: