A Creature? - II

on Monday, July 05, 2010
“Sebegitu penasarannya?” Helaian rambut yang menutupi dahinya disibakkan ayahnya dan sebuah kecupan mendarat di keningnya.

Tiba-tiba saja, tubuh dan lengan besar yang sedari tadi melindunginya lenyap. Angin malam pun segera menerkam tubuh kurusnya. Dipalingkannya wajahnya menatap posisi di mana seharusnya ayahnya berada. Tapi, sosok laki-laki tinggi besar itu tidak terlihat di manapun.

“Quack!”

Yang ada sekarang adalah sosok seekor bebek. Iya, bebek. Helaian bulunya berwarna biru cerah, sewarna dengan warna rambutnya.

“Oyaji?” Ayahnya berubah menjadi bebek? Apa-apaan ini? “Oka-sann!” teriaknya ke arah rumah. Tidak peduli ini sudah malam dan Ricchan pasti sudah tidur. Sepasang mata coklatnya masih terpaku pada bebek biru itu.

“Ada apa, Rikkun?” tanya ibunya. Terdengar langkah-langkah mendekat.

Mengalihkan tatapannya sejenak untuk menatap ibunya yang baru saja muncul. “Oyaji.”

“Kenapa Oyaji?”

Detik itu juga, sosok besar itu sudah muncul kembali menghalangi pandangannya pada ibunya. Oyaji. Dia tahu, wajahnya pasti terlihat bingung setengah mati. Hal itu bisa dilihat dari reaksi laki-laki tinggi besar di hadapannya ini. Wajah itu seperti ingin tertawa. Puas sekali. Lengan-lengan besar itu sudah kembali menyergap tubuh mungilnya, merengkuh dengan mudahnya, dan memasukkannya kembali ke dalam perlindungan yang hangat.

“Siluman bebek?” tanyanya kaku.

Tatapannya beralih pada ibunya. Ingin melihat apa reaksinya. Ibunya seharusnya tahu darah siluman apa yang mengalir di tubuh suami dan putranya ini, kan? Tapi, tidak ada reaksi geli yang diharapkannya. Ibunya malah tampak terkejut.

“Bebek?” ucap ibunya lirih. Benar-benar tampak terkejut.

“Kenapa memangnya dengan bebek? Ada yang salah?”

Terlihat sekali ayahnya begitu menikmati permainan bebek ini. Tapi, dia tahu, amat sangat tahu, entah darimana kesadaran itu datang. Bukan darah siluman bebek yang mengalir dalam darahnya. Sama sekali bukan. Ayahnya cuma melakukan sihir konyolnya itu. Hanya untuk meredam rasa ingin tahunya. Tapi, bagaimana caranya menghentikan arus ingin tahu terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri? Entahlah, yang pasti tidak dengan sihir konyol seperti ini.

Memberontak minta dibebaskan dari pelukan ayahnya dengan kesal. Merasa teramat dipermainkan. Tapi, ayahnya sepertinya tidak berniat mengendurkan pelukannya sedikitpun. Ayahnya malah menatap wajahnya lekat-lekat. Entah mencari apa. Atau mungkin sedang menikmati betapa masamnya wajah putranya ini?

Dia sudah membuka mulutnya ingin bicara tapi melihat wajah ayahnya, dia malah mengurungkan niatnya. Tatapan heran pun tergambar di wajah ayahnya. Menghela nafasnya sejenak. “Kalau bebek, kenapa orang takut? Bebek tidak berbahaya, kan? Jangan mempermainkanku.”

Mengalihkan tatapannya dari wajah ayahnya yang terlihat jelas sedang memikirkan suatu alasan. Seharusnya, ayahnya tahu, dia bukanlah anak yang mudah diajak bercanda. Seharusnya, ayahnya tahu, kalau darah siluman yang mengalir dalam tubuhnya adalah suatu hal yang sensitif baginya. Tapi, sejak kapan ayahnya peka? Ibunya saja pernah mengeluh, betapa tidak pekanya lelaki tinggi besar itu.

Masih tidak ada jawaban yang dilontarkan ayahnya. Menggeliat minta dilepaskan lagi. Kali ini pelukan itu mengendur dan dia pun segera menyelinap lepas. “Oyasumi.” Dia pun menghilang masuk ke dalam kamarnya.

A Creature? - I

on Thursday, July 01, 2010
Tahu? Ketika dia kelas satu SD, dia sudah dikatai siluman. Katanya, rambut birunya adalah karena dia memiliki darah siluman. Karena itu, seakan diperintahkan secara tersirat, semua orang tua melarang anaknya bermain dengannya. Bukan cuma main. Tidak ada seorang anak pun yang diizinkan berkomunikasi dengannya. Entah itu hanya berkenalan atau bekerja dalam kelompok. Atau hanya sekadar duduk di sebelahnya. Lelah melihat meja anak-anak lain yang selalu digeser menjauhi mejanya, akhirnya dia memilih duduk di paling belakang. Dengan begitu, tidak ada yang perlu menghindarinya lagi, kan?

Tahu? Dia penasaran, darah siluman apa yang diwarisinya. Mengapa orang-orang itu begitu takut kalau dia sampai menyentuh anaknya? Ah, tidak. Bicara saja tidak boleh, apalagi menyentuh. Memangnya, darah siluman yang mengalir dalam tubuhnya adalah siluman pemakan manusia? Atau mungkin siluman yang wujudnya besar dengan moncong yang dipenuhi taring? Entahlah. Sebegitu berbahayanyakah darah siluman warisan ini?

Tahu? Ayahnya, biarpun sudah berkali-kali dia menanyakan hal ini, tidak pernah mengatakan sedikitpun tentang siluman apa yang mengalir dalam tubuh mereka berdua. Heran. Apa salahnya memberitahu putranya sendiri? Supaya setidaknya dia bisa mengerti alasan mengapa dia harus dikucilkan sedemikian rupa. Walaupun, dia sudah tidak peduli pada hal itu lagi. Memangnya siapa orang-orang itu? Mereka bukan siapa-siapa. Tidak ada pengaruh apapun untuknya kalau mereka tidak mau berkomunikasi dengannya.

“Oyaji.”

“Ya, Rikkun?”

Mereka sedang duduk di serambi panggung belakang rumah. Tubuh mungilnya terlindung oleh tubuh besar ayahnya dari tiupan angin malam yang dingin menusuk.

“Siluman apa?”

“Itu lagi?” Pelukan ayahnya mengetat. Digenggamnya jemari besar milik ayahnya. Tangannya kecil sekali dan amat sangat pucat jika dibandingkan dengan kulit coklat milik ayahnya. Ya, ini karena dia jarang membiarkan kulitnya disiram cahaya matahari. Lagipula, dia tidak berminat.

“Iya, itu lagi.”

“Mm, lihat bintang yang berkelip-kelip di sana? Itu Andromeda.”

Bintang, katanya. Dia yakin ayahnya cuma asal tunjuk dan asal sebut. Dan tahukah kau Oyaji, Andromeda itu nama galaksi bukan bintang. Terlihat jelas ayahnya cuma ingin mengalihkan perhatiannya. Tidak berminat menjawab pertanyaannya lagi, eh?

“Itu Polaris.” Setidaknya, jawaban asalnya masih merupakan nama bintang. “Siluman apa?”