Day Two - Dad (Chapter I)

on Monday, May 31, 2010
Hari ini adalah hari kedua dia harus melepaskan putranya itu ke pengawasan orang lain. Hari kedua putranya memasuki lingkungan masyarakat. Kemarin, hari pertama, semuanya baik-baik saja. Putranya memang tidak bercerita banyak, selalu. Tapi, setidaknya dia tahu, hari pertamanya baik-baik saja. Akankah hal yang sama terjadi pada hari kedua? Tidakkah teman-temannya akan mulai heran melihat warna rambut yang teamat sangat berbeda itu? Bisakah teman-temannya menerima putranya? Cih, mengapa semua pikiran negatif ini menyerbu otaknya secara bertubi-tubi begini.

“Akankah kau baik-baik saja, hei, Rikkun?”

Hei, Rikkun akan baik-baik saja! Sini kau, jaga Ricchan selagi aku cuci baju!

Itu istrinya yang baru saja memanggilnya. Wanita yang masih terlihat sama cantiknya seperti pada saat dia melamar gadis itu. Seorang gadis yang tidak peduli pada keunikan warna rambutnya. Tidak peduli bahwa ada darah siluman yang mengalir dalam dirinya. Yah, rata-rata, wanita yang tertarik pada keunikan warna rambutnya, akan mundur ketika tahu bahwa dia adalah siluman. Cih, dia memang punya darah siluman tapi bukan berarti dia seorang manusia jadi-jadian, kan? Dia toh tidak makan manusia. Kenapa gadis-gadis cantik itu takut?

Lalu, Ricchan, putrinya. Usianya lebih muda dua tahun dari Rikkun. Warna rambut anak perempuan ini hitam seperti ibunya. Tentu saja, darah silumannya hanya diturunkan pada anak lelaki. Berbeda dengan Rikkun yang sejak kecil sudah tidak usil, tidak suka lari kesana kemari ketika sudah bisa berjalan—sampai-sampai dia mencemaskan perkembangan kakinya, jarang menangis pula. Ricchan adalah kebalikannya. Sekali saja anak itu lepas dari pengawasan orang tuanya, entah sudah berada di mana anak itu. Tidak bisa diam. Kalau jatuh, langsung menangis keras-keras. Tipikal anak kecil.

Dan Rikkun, putranya. Kepada anak sulungnya inilah, darah silumannya diwariskan. Warna rambut anak itu sama sepertinya. Anak ini sejak kecil, sudah menunjukkan kepatuhan yang luar biasa pada kedua orang tuanya. Kalau dilarang melakukan sesuatu, dia tidak akan melakukannya. Kalau disuruh duduk diam karena orang tuanya sedang sibuk mengurus Ricchan, dia akan duduk dengan tenang sambil mengamati kedua orang tuanya dan adiknya. Mungkin yang tidak dipatuhi Rikkun cuma satu. Anak itu tidak berminat ketika disuruh pergi main dengan anak-anak tetangga. Apalagi sejak dia bisa membaca dan sebuah buku berisikan kisah anak-anak lengkap dengan ilustrasinya diberikan sebagai hadiah ulang tahunnya. Sejak saat itu, anak itu seperti keranjingan membaca. Kanji-kanji sederhana yang muncul pada buku-buku itu pun mampu diingatnya dengan cepat.

Day Two - Librarian (Chapter IV)

on Sunday, May 30, 2010
Anak itu menatapnya selama sejenak lalu memberikan gelengan kecil. Lalu, wajahnya kembali tunduk menatap buku yang berada di pangkuannya. Ck. Seharusnya, dia tinggalkan saja anak ini. Kenapa juga dia peduli? Toh, anak ini juga tidak mempedulikannya. Hmph, mungkin karena luka-luka di tubuh kecil itu, menerbitkan rasa kasihannya. Beberapa kali anak itu terbatuk pelan. Sakit? Ck, membuat rasa ibanya makin besar saja.

“Di mana rumahmu?”

Oke, lupa. Digoyangkannya tangannya kembali menghalangi buku yang dipangku anak itu. Anak itu kembali menatapnya. Tidak terlihat kesal. Datar, malah. Tanpa menjawab apa-apa, anak itu kembali menundukkan wajahnya. What?! Kurang ajar sekali anak ini. Tinggalkan sajalah. Anak tidak tahu sopan santun begini.

Dia pun beranjak pergi dengan kesal. Segera dia menghampiri rak favoritnya yang berisi novel-novel dengan kisah yang beragam. Dari yang romantis, fantasi, petualangan, dengan akhir yang bahagia maupun tidak. Butuh waktu setengah jam untuk memilih yang belum dibacanya dan yang menarik, tentu saja. Setelah menentukan pilihan, dibawanya dua buah buku pilihannya itu pada rekan kerjanya yang sedan bertugas menjadi resepsionis.

Seraya menunggu kode dari kedua buku itu dicatat, dilayangkannya tatapannya pada rak-rak yang berdiri kokoh. Hei, si rambut biru akhirnya beranjak!, serunya dalam hati ketika melihat anak itu melangkah keluar dari deretan-deretan rak. Si kecil itu melangkah melewatinya begitu saja dan berhenti di depan rak penyimpanan tas. Mengambil tasnya lalu beranjak keluar.

Silakan, bukumu. Otsukare.

“Ah, ya. Arigatou. Otsukare.”

Cepat-cepat dimasukkannya kedua buku itu ke dalam tasnya. Entah mengapa, dia tidak ingin kehilangan sosok kecil berambut biru itu. Mungkin rasa penasaranlah yang menggerakkannya.

Day Two - Librarian (Chapter III)

on Saturday, May 29, 2010
Penasaran, didekatinya anak itu. Diperhatikannya buku yang sedang dibaca itu. Wishing Chair Series. Enid Blyton, mm? Sepertinya, anak ini tahu mana buku yang bagus dan mana yang tidak. Mm, kalau dilihat dengan seksama, rambut birunya bagus juga. Sewarna langit cerah. Membuat yang melihatnya jadi merasa tenang. Kalau iris matanya juga biru, pasti anak ini terlihat manis, deh. Sayangnya, tidak. Ngomong-ngomong, anak ini sama sekali tidak terganggu dilihat dengan seksama seperti ini ya? Sebegitu tenggelamnya dalam prosa Enid Blyton?

Mengganggu pengunjung bukan salah satu pekerjaannya. Karena itu, dia memutuskan membiarkan anak itu menikmati imajinasinya. Lagipula, tidak ada tanda-tanda adanya perusakan buku. Jadi, tak masalah, kan? Biarpun noda-noda di wajah dan pakaiannya, mungkin akan meninggalkan bekas di lantai. Selama tidak menodai buku-buku yang ada, itu bukan masalah besar.

* * *

Pukul tiga sore, saatnya dia menyelesaikan semua pekerjaannya hari itu. Waktu pulang, tentu saja. Tapi, jangan dikira kalau perpustakaan ini juga ikut tutup. Cuma shift bekerjanya yang selesai. Perpustakaan ini buka sampai malam, tepatnya pukul 23.00. Ini dikarenakan obsesi si pemilik sekarang, yang merupakan cucu pendiri perpustakaan ini, ingin memberikan layanan pengetahuan hampir 24 jam. Sayangnya, hal itu cukup mustahil dilakukan. Tidak ada yang mau berjaga dari pukul 23.00 sampai 07.00.

Hal itu bukannya tanpa alasan. Perpustakaan ini sudah pernah buka 24 jam. Hanya saja, para pustakawan yang pernah mengambil shift subuh, tidak ada yang bertahan lebih dari satu minggu. Tentu saja, perpustakaan itu sudah kuno. Siapa yang tahan sendirian didampingi kebisuan buku-buku. Apalagi, kalau ada sesuatu yang muncul, yang katanya memang ada.

Oke, lupakan masalah itu. Semua pekerjaannya sudah selesai. Sebelum pulang, dia memutuskan untuk meminjam beberapa buku terlebih dahulu. Novel seperti biasa. Nah, entah mengapa, langkahnya menuntunnya pada posisi si anak rambut biru tadi. Padahal buku-buku yang ada di posisi anak itu berisikan kisah anak-anak. Anak itu masih duduk diam dengan posisi yang sepertinya sama seperti tadi. Kalau pun beda, pasti cuma beberapa senti. Tahan sekali tidak bergerak seperti itu.

“Tidak pulang?”

Day Two - Librarian (Chapter II)

on Friday, May 28, 2010
Diurungkannya niat mendekati anak itu dan menanyakan bagaimana kondisinya. Perpustakaan tempatnya bekerja ini memang cukup sering didatangi orang-orang tak bermoral. Dia pernah bertemu yakuza, perampok, pembunuh, dan, ah, entah siapa lagi. Untungnya, para penghuni dunia hitam yang datang kemari adalah pecinta buku. Selama ini, dia jarang menemui buku yang rusak. Ada yang rusak pun, selalu ada yang bersedia menggantinya dengan yang baru. Jadi, mungkin saja anak itu adalah anggota baru yakuza? Bisa saja, anak sekecil itu adalah seorang ahli dalam bela diri? Ah, intinya, lebih baik tidak macam-macam.

Terserah kalau pustakawati ini mau dikatakan tidak manusiawi. Itu semua karena dia sedang terfokus membaca novelnya dan belum ingin diganggu oleh hal-hal aneh seperti anak laki-laki berambut biru dengan memar di wajahnya.

* * *

Sekarang, tangan sang waktu sudah hampir menuju angka dua belas. Sebentar lagi, waktunya makan siang. Novel si pustakawati pun sudah selesai dibaca. Seorang pustakawan yang akan menempati posisinya sebagai resepsionis perpustakaan juga sudah datang. Pekerjaan dia sekarang adalah masuk ke perpustakaan dan mengatur buku-buku yang ada di sana. Memulangkan buku-buku yang diambil tanpa dikembalikan ke raknya. Ya, itu pekerjaannya nanti setelah makan siang. Jadi, mari makan siang terlebih dahulu! Perutnya sudah keroncongan minta diisi sesuatu.

* * *

Kembali ke perpustakaan tercintanya. Sudah cukup duduk selama empat jam sebagai resepsionis. Saatnya, berkelana di deretan rak buku-buku. Mengamati para pengunjung perpustakaan tua ini. Memberi peringatan kalau ada yang berniat melukai buku-buku indah ini.

Mungkin harus diceritakan sedikit tentang perpustakaan ini. Perpustakaan ini sudah berdiri sejak tahun 1923. Didirikan oleh seorang pria yang amat mencintai buku-bukunya. Dia begitu mencintai anak-anaknya, begitulah dia menyebut buku-bukunya, sampai dia tidak rela kalau semua buku itu hancur dimakan bakteri-bakteri pengurai, ketika dia tidak bisa lagi bersama mereka. Karena alasan itulah, dia mendirikan perpustakaan ini agar anak-anaknya bisa dirawat dan bisa difungsikan semaksimal mungkin.

Koleksi yang dimiliki perpustakaan ini cukup lengkap. Kitab-kitab kuno dari abad ke-18 pun ada. Rata-rata merupakan warisan dari sang pendiri. Kitab-kitab tersebut dirawat secara khusus di perpustakaan ini. Surga buku ini juga sempat mengalami pemugaran untuk menaikkan kualitas penyimpanan dan memudahkan pengunjung untuk menikmati buku-buku yang ada.

Kembali pada masa sekarang. Perpustakaan tempatnya bekerja. Dia sedang memulangkan buku-buku kembali ke dalam raknya ketika dia sepasang matanya menangkap sosok pengunjung pertamanya. Anak itu duduk di lantai, di sudut sebuah rak letter L. Anak itu membaca buku, tentu saja. Wajahnya yang dipenuhi memar itu tampak serius membaca.

Day Two - Librarian (Chapter I)

on Thursday, May 27, 2010
I’m back my library!

Bukan perpustakaan miliknya memang. Setidaknya, dia mendapat upah untuk menjaga buku-buku yang ada di perpustakaan ini. Perpustakaan ini sudah serasa rumah keduanya. Sejak lulus kuliah, dia sudah tidak berminat melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang lebih berhubungan dengan jurusannya. Dia cuma tertarik untuk bekerja di perpustakaan, tempat ratusan bahkan ribuan atau mungkin ratusan ribu buku terkumpul.

Dimasukkannya kertas absen pada alat pengabsen otomatis itu. Pagi-pagi begini, tempat ini selalu sepi. Tentu saja, ini kan saat di mana semua orang baru saja memulai harinya, entah bekerja atau menuntut ilmu. Biasanya, yang datang pagi-pagi kemari, adalah peneliti atau para pengangguran, yang sebenarnya memiliki suatu jenis pekerjaan yang lebih baik tidak dieskpos.

Seperti biasa, dia duduk menunggu pengunjung sambil membaca buku. Dia memang lebih menyukai fiksi-fiksi yang bertebaran di rak sisi kanan daripada sudut belakang perpustakaan. Isinya tentang sejarah, sains, dan entah tentang apalagi. Berat yang pasti. Butuh berkali-kali dibaca baru bisa dimengerti. Ya, kegemarannya membaca memang lebih terpusat pada kisah-kisah fiksi yang dibuat oleh para pengarangnya.

* * *

Tangan pendek sang waktu baru mendekati angka sembilan ketika pengunjung pertama datang. Anak-anak. Laki-laki. Rambut biru? Pengunjung pertamanya itu melenggang masuk begitu saja. Tidak mengindahkan dirinya, buku tamunya, dan rak penyimpanan tas.

“Hei, Nak.”

Langkah anak itu terhenti segera lalu diam di tempat. Tidak ada tolehan untuk memperlihatkan wajahnya pada si pemanggilnya. Sopan sekali.

“Isi buku tamu dan letakkan tasmu di rak. Bisa?”

Akhirnya, anak itu berbalik dengan wajah tertunduk. Mengisi buku tamu dengan tulisan yang tidak terlalu rapi. Ditatapnya wajah anak itu. Percuma menunduk, anak kecil. Wajahmu terlihat jelas dari sini. Tertegun sejenak ketika kejelasan wajah kurus itu merasuki pemahamannya. Memar di mana-mana dan sedikit darah di ujung bibir dan alis. Belum sempat dia bereaksi pada wajah itu, anak itu sudah beranjak mendekati rak penyimpanan tas di mana dia meletakkan tasnya dengan buru-buru. Setelah itu, dia segera melangkah cepat memasuki perpustakaan.

Ah, memar apa itu? Dilihat dari tubuhnya yang pendek, kecil, dan kurus, sepertinya anak itu masih seorang pelajar tingkat dasar. Kelas satu atau dua, mungkin. Rambutnya aneh. Jarang atau hampir tidak pernah sebenarnya, dia menemui seorang anak-anak dengan rambut dicat. Orang tua biasanya tidak akan mengizinkan. Nah, kalau rambut anak sekecil ini sudah dicat, mungkin saja dia bukan anak baik-baik. Lagipula, ada memar di wajahnya. Seragam yang dipakainya juga tidak lagi bersih. Noda tanah dan darah tersebar di mana-mana. Padahal masih sepagi ini.

Day Two - A Little Girl (Chapter II)

on Wednesday, May 26, 2010
Jeritan apalagi itu?

Ibu guru menanyakan pada anak perempuan yang berteriak. Ada apa? Tapi, anak itu cuma menunjuk. Meja Riki-kun. Kodok-kodok kembali berlompatan di kelas. Serangga-serangga keluar dari laci meja. Kok hari ini banyak sekali binatang, sih? Dan kenapa semuanya muncul dari Riki-kun? Itu semua teman-temannya, ya? Memangnya ada yang suka kodok, lipan, jangkrik? Nggak ada! Ihhh, Riki-kun kok jahat gitu sih. Bawa-bawa binatang ke sekolah. Lihat saja, teman-temannya sudah lari-lari, loncat-loncat, menghindar ke sana kemari. Tapi, Riki-kun cuma diam saja! Ihhhh! Kesallll!

Hei, Riki-kun mau ke mana? Kok dia keluar kelas? Bawa tas lagi! Mau kabur, ya? Dikejarnya lagi teman berambut birunya itu. Riki-kun kok lari, sih? Kan jadi capek ngejarnya! Riki-kun baru berhenti di taman bermain sekolah. Nggak ada orang di situ. Sepi. Marahin Riki-kun, ah!

HEI!

Belum sempat berteriak memanggil, sudah ada yang berteriak lebih dulu. Menoleh dan mendapati segerombolan dengan tubuh yang jauh lebih besar, tinggi, dan mukanya seram! Eh, ngumpet dulu. Kenapa mereka mendekati Riki-kun! Dan kenapa Riki-kun cuma diam saja? Bagaimana kalau orang-orang seram itu mau melakukan sesuatu yang jahat?

BRAKK!

Tuh kan, tuh kannnn! Belum apa-apa, Riki-kun sudah dijatuhkan begitu! Ahhhh, gimana ini!! Takut. Tapi, tidak ada siapapun di sini. Da—dan suara-suara pukulan sudah mulai terdengar dari tempat Riki-kun. Orang-orang seram itu memukuli Riki! Memangnya Riki-kun salah apa? Masa gara-gara binatang-binatang itu?

Takut. Takut. Takut. Perlahan kakinya melangkah mundur. Nggak tahan lihat Riki-kun dipukuli. Nggak tahan mendengar jerit kesakitan Riki-kun. Riki-kun juga tidak membalas. Otou-san, takut. Berikutnya, dia sudah berlari menjauh. Panggil bu guru! Bu guru pasti mau menolong Riki-kun biarpun Riki-kun sudah nakal. Pasti!

Day Two - A Little Girl (Chapter I)

on Tuesday, May 25, 2010
Hari pertama masuk sekolah. Senang? Tentu saja! Siapa yang tidak senang waktu pertama kali masuk sekolah? Bisa ketemu teman-teman baru, guru-guru yang baik. Di sekolah juga ada taman bermainnya. Tidak sabar, nihhh!

Ketika datang dengan diantar Otou-san, kelas sudah dipenuhi oleh banyak—banyak sekali orangnya! Whoaaa! Tidak sabar untuk segera mengenal dan bermain dengan mereka semua. Tapi, ada satu anak yang langsung menarik perhatiannya.

"Otou-san, rambutnya biru!" teriaknya heboh.

Otou-san cuma menanggapi kehebohannya dengan senyum disertai pesan, baik-baik di sekolah, ya. Menggangguk dengan penuh semangat dan berlari menuju kelasnya.

Sekolah diawali dengan perkenalan oleh guru lalu semua anak di kelas mengikuti. Si rambut birulah, yang paling dia tunggu-tunggu namanya. Riki Cheresute Mikagami. Namanya panjanggggg. Terus nama tengahnya juga anehhhh. Seaneh warna rambutnya yang mencolok sekali diantara rambut-rambut hitam!

* * *

Hari kedua. Hari ini dia ingin berkenalan secara resmi dengan Riki-kun. Kemarin kan mereka cuma masuk bentar. Jadi, belum sempat berkenalan, lagipula Riki-kun sudah dijemput oleh ayahnya yang rambutnya juga biru! Wahhh, kerennn! Nah, hari ini baru sekolah benar-benar dimulai, begitu kata ibu gurunya kemarin.

Dia baru saja meletakkan sepatunya di rak sepatu yang sudah disediakan ketika pekikan dan jeritan terdengar. Ada apa? Tepat ketika dia menoleh, dia melihat seekor kodok loncat ke arahnya. Segera dia menjerit histeris. Benci kodokkk!! Hijau-hijau, jelek, bunyinya ga enak pula!

Ketika akhirnya dia sadar bahwa si kodok sudah pergi, ditatapnya sekelilingnya. Ada apa sih sebenarnya? Eh, itu Riki-kun! Tapi, dia cuma mematung terdiam, menatap rak sepatunya. Beberapa serangga terlihat keluar dari rak sepatu itu. Dari situkah kodok tadi muncul? Didekatinya Riki-kun dengan takut-takut. Bagaimana kalau tiba-tiba ada binatang lain yang keluar? Bagaimana kalau ada ular?

Tapi, belum sempat dia mendekat, Riki-kun sudah bergerak. Dia menutup rak sepatunya dan melangkah menuju kelasnya. Tidak peduli pada anak-anak lain yang sedang melihatnya. Bingung. Dikejarnya Riki-kun sampai ke kelas. Dia sudah ingin menyapa Riki-kun ketika ibu guru masuk dan menyuruh mereka semua duduk.

KYAAAAAAAAAAAA!!!

Riki's Life

Yeah, Riki's Life, not Reachy's Life. Jujur, alasan mengapa kisah Reachy tidak kunjung muncul lanjutannya, adalah karena saya bingung. Bukannya tidak ada ide sama sekali. Yang ada, malah terlalu banyaknya ide, sampai saya tidak tahu mana yang harus ditulis terlebih dahulu. Menyerah? Iya, untuk sekarang. Doakan saja, suatu saat nanti, saya mampu kembali menyusun alur untuk Reachy dengan baik dan benar.

Then, mari beralih ke Riki's Life. Ide ini muncul tentu saja dari tokoh yang saya buat untuk RPF pertama saya. Awalnya, memang saya sudah sedikit merancang masa lalu yang dimiliki si Riki ini. Yang membuat saya berminat menuliskankan idenya adalah karena dalam RPF, ada yang disebut FF atau FanFictions. Yang diceritakan dalam FF rata-rata adalah tentang kisah si tokoh dengan tokoh-tokoh lain yang ada dalam RPF tersebut. Inilah alasan utama kenapa saya lebih memilih posting di blog terlebih dahulu. Riki's Life yang akan saya posting di sini, tidak bercerita tentang Riki dengan teman-temannya di dunia Ryokubita. Melainkan kisahnya sebelum menjejakkan kaki di sekolah sihir Jepang itu.

Oke, seperti Reachy's Life, kisah ini takkan selesai dengan satu posting. Tapi, sepertinya, juga tidak sepanjang kisah Reachy. Imajinasi tentang tokoh ini, untungnya belum begitu banyak saat saya berminat menuliskannya. So, enjoy it.

Feel free to drop your comment. I appreciate every single character you give to me. =P

I am writing!

on Tuesday, May 11, 2010
Yeah, I don't need you to tell me how unconsistent I am. Pertengahan Maret, saya sudah membulatkan tekad untuk kembali menulis. Dan tanggal berapa sekarang? Yap, 11 Mei. Hampir dua bulan, eh?

Sebenarnya, sebelum bulan keempat berakhir, saya sudah ingin posting. Tapi, belum ada ide yang cukup menarik. Apa sekarang ada ide? Nggak juga. Cuma lagi pingin iseng mengisi blog. Mungkin sekadar memberitahu aktivitas saya, setelah hampir dua bulan menghilang setelah pembulatan tekad. Okay, I should say it. Sudah sekitar dua minggu lebih, saya mulai konsisten nulis, eh ngetik.

Pernah dengar Role Play Forum? RPF bukan RPG. Saya pernah mendengarnya kurang dari setahun yang lalu, lebih tepatnya bulan Juli 2009. Lebih tepatnya lagi? Err, lupa. Tapi, saat itu saya yang masih kecanduan berbagai macam game yang membutuhkan internet (baca : game online), belum terlalu berminat. RPF yang saya tahu pertama kali adalah IndoHogwarts. Seperti namanya, RPF ini berdasarkan dunia yang diciptakan oleh J. K. Rowling. Sebagai pecinta Harry Potter, seharusnya saya tertarik. Tapi, racun game memang teramat sulit ditolak. Jadi, saya lewatkan saja kesempatan mendaftar ke Hogwarts saat itu.

Sepuluh bulan berikutnya, entah ada angin apa, ada yang mengatakan pada saya, bahwa pendaftaran IndoHogwarts dibuka lagi. Tertarik? Sedikit. Sudah mulai memikirkan nama, visualisasi. Tapi, masalahnya, saya lebih tertarik pada visualisasi Asia, sedangkan di IndoHogwarts, dibutuhkan semangat juang 45 untuk mendapatkan jatah itu. Sampai di situ, keinginan untuk menulis kembali memang belum begitu muncul. Apalagi, di hari pembukaan pendaftaran IndoHogwarts, yang cuma satu hari, saya tidak menyentuh internet sama sekali. Jadi? Batal, jelas.

Baru beberapa hari setelahnya, di tengah-tengah kebosanan yang menyiksa, saya sedikit menyesal. Kenapa tidak maksa daftar saja dulu. Toh, ada yang bisa diminta mendaftarkan (lalala~). Lalu, saya diberitahu bahwa ada RPF lain yang juga bercerita tentang sekolah sihir, hanya saja ber-setting di Jepang, akan membuka pendaftarannya beberapa hari lagi. RPF kali ini, namanya Ryokushoku o Obita, biasa disingkat Ryokubita.

Nah, berbeda dengan IndoHogwarts yang rata-rata visualisasinya diisi oleh wajah-wajah barat, di sini, lebih diisi oleh wajah-wajah Asia. Senang? Tentu. Tapi, kebalikan dengan IndoHogwarts yang rata-rata namanya memang barat, di Ryokubita yang settingnya Jepang, tentu saja, kebanyakan namanya adalah nama Jepang. Sedikit mentok di sini. Sudah berapa tahun berlalu? Masa di mana hidup saya diisi oleh manga, anime, belajar bahasa Jepang dasar. Dan kecintaan saya pada Jepang sudah cukup luntur. Secara saya selalu mentok ketika membuat cerita dengan tokoh utama bernama Jepang.

Akhirnya, diberi ide, katanya, selipin aja nama tengah yang barat, terus ditulis pakai inisial. Nice idea. Nama depan dan belakang? Depan sudah dapat sih, biarpun aslinya tidak berbau Jepang, bisa dimodifikasi sedikit. Belakangnya? Ribet. Maklum sudah bosan dengan nama keluarga Jepang yang rasanya, mirip semua bunyinya dan cukup pasaran. Sudah hari pendaftaran, masih saja belum kepikiran. Akhirnya, kepepet, ambil nama yang biasa dipakai sajalah.

Nama selesai. Lalu, juga sudah minta tolong didaftarkan dulu karena lagi-lagi saya berhalangan untuk menyentuh internet. Then, dimulailah keaktifan saya kembali dalam bidang mengkhayal dan berimajinasi. Kaku di awal, jelas. Sadar koq, sejak mengenal game online, frekuensi saya menuangkan imajinasi ke dalam tulisan, benar-benar semakin berkurang.

So? Will you pray for me that this spirit will never die? At least, until I can make a new story again?

Buat yang penasaran. Namanya, Riki Celeste Mikagami.