Day Two - Dad (Chapter V) (End)

on Wednesday, June 30, 2010
Kepada keluarganya saja, dia hanya memberikan reaksi seadanya. Bukan seadanya, sebenarnya. Semampunya. Ya, Rikkun cuma seorang anak lima tahun ketika semua itu terjadi. Tak bisa dipungkiri, kalau peristiwa itu menorehkan trauma yang dalam. Sikap Rikkun sekarang sudah jauh lebih baik daripada dulu, saat dia baru keluar dari rumah sakit. Dia seakan merasa asing pada keluarganya sendiri. Pada adiknya yang berteriak-teriak minta gendong. Pada ibunya yang selalu memanggilnya dengan lemah lembut. Bahkan pada ayahnya, pada siapa anak itu paling banyak bercerita dulu.

Dia menghargai semua usaha Rikkun sampai saat ini. Anak itu berusaha keras untuk membaur dengan keluarganya. Ya, dia bisa merasakan hal itu. Anak itu mencoba menuruti permintaan Ricchan untuk bermain bersama dengan teman-temannya. Dia sadar, anak itu takut, kalau-kalau hal yang sama terjadi lagi. Tapi, dia toh mencobanya. Putranya itu juga mencoba lebih banyak berbincang-bincang dengan ibunya. Walaupun istrinya yang memang pada dasarnya cerewet itulah yang lebih sering bicara. Rikkun cuma mendengarkan sambil sesekali menimpali.

Dan pada ayahnya, Rikkun mencoba lebih jujur dalam menceritakan apa yang dirasakannya. Dia selalu menegaskan pada putranya itu, kalau tidak suka, bilang. Jangan pasrah. Memang sulit menerapkan hal itu di lingkungan sosialnya. Karena itu, dia memaksa putranya itu untuk berlaku seperti itu di rumah, pada keluarganya sendiri. Dia tidak ingin dibohongi anaknya sendiri. Ingin tahu apa saja yang terjadi pada anaknya. Ingin tahu, apa saja yang dirasakan anaknya.

Seperti alasan mengapa Rikkun tidak langsung pulang setelah dianiaya sembilan tahun yang lalu. Mungkin tidak akan separah itu akibatnya. Butuh waktu bagi putranya itu untuk jujur. Anak itu baru mau mengatakannya setelah suaranya benar-benar kembali normal. Katanya, dia takut dimarahi. Pulang cepat, seragam kotor, wajah berantakan, tenggorokan sakit. Kamisama. Bolehkah seorang ayah menangis menggantikan anak laki-lakinya yang entah sok kuat atau terlalu tabah atau mungkin terlalu apatis sampai tidak pernah menunjukkan air matanya pada keluarganya sendiri?

Oyaji?

Mm? Dia baru menyadari bahwa dia sedang duduk memeluk putranya di serambi belakang sambil melihat bintang. “Ya, Rikkun?”

Rikkun memberikan tatapan kesalnya karena semua ocehannya yang jarang terdengar itu, tidak ada satupun yang ditanggapi ayahnya. Tidur ah, Oyaji ngelamun, katanya sambil menyandarkan tubuh mungilnya pada tubuh besar ayahnya. Kelopak matanya pun menutup.

“Maaf.” Dikecupnya kening putranya dengan sayang. “Tidur di dalam, oke?” Digendongnya tubuh mungil itu. Seperti biasa, Rikkun tidak menolak malah merangkulkan lengannya ke leher ayahnya.

Day Two - Dad (Chapter IV)

on Saturday, June 26, 2010
Itu adalah kisah enam tahun yang lalu. Ketika putranya pertama kali ditindas oleh masyarakat dan harus berakhir di rumah sakit. Kesakitan untuk hanya sekadar bernapas. Kehilangan suara selama beberapa bulan. Fatal akibatnya untuk seorang anak-anak berusia lima tahun.

Dia masih ingat tatapan macam apa yang diberikan putranya ketika dia bersama istrinya dan Ricchan datang mengunjunginya. Tidak ada kebencian dalam bola mata coklat itu. Cuma ada kehampaan. Kosong. Dia menatap keluarganya sendiri seakan menatap orang asing. Istrinya sudah tidak tahan melihat darah dagingnya memberikan tatapan seperti itu. Hari pertama, kunjungan wanita itu ke rumah sakit, hari itu pula dia menangis tanpa henti di sisi tempat tidur Rikkun. Tapi, tak ada perubahan apapun pada tatapan Rikkun. Hampa.

Suaranya yang masih kekanak-kanakan pun hampir tak pernah terdengar lagi. Untuk meminta pertolongan seperti minta diantar ke kamar kecil atau untuk mandi, hanya dilakukannya dengan bahasa isyarat. Suara manisnya hanya terdengar ketika kesakitan yang tak tertahankan menyerangnya. Suara itupun tak lebih dari sekadar bisikan, lenguhan kesakitan.

Orang tua mana yang tahan menatap penderitaan anaknya? Sering kali, dia melihat putranya mencengkeram erat selimutnya, menahan sakit. Terpaksa bernafas lewat mulut walaupun itu hanya mengurangi sedikit dari rasa sakitnya. Kamisama.

Semua itu masih tergambar dengan jelas di otaknya. Teramat sangat jelas karena dia tak ingin melupakannya. Penderitaan putranya. Hanya karena beberapa orang seniornya benci melihat warna rambutnya yang teramat sangat berbeda. Tidak ada yang mengaku sampai sekarang, siapa saja yang melakukan hal itu pada putranya. Begitu juga dengan Rikkun, dia seperti tidak berminat pada senior-senior yang membuat pandangannya terhadap masyarakat berubah.

Apalagi ketika berita itu muncul, entah darimana. Berita bahwa rambut biru adalah lambang pewaris darah siluman. Entah siluman apa, tak ada yang tahu. Masyarakat hanya tahu, wujud siluman mereka adalah makhluk buas yang tak berperikemanusiaan. Hanya karena kisah yang tak jelas darimana asalnya itu, Rikkun benar-benar kehilangan semua masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan tawa keceriaan itu. Tidak ada satupun anak yang mau berteman dengannya. Hanya sekadar berkenalan, masih tak apa. Berteman? Mengobrol setiap saat? Bermain bersama? Tidak.

Rikkun sendiri sepertinya tidak terlalu peduli pada masyarakat yang mengucilkannya. Dia lebih memilih menenggelamkan dirinya dalam tumpukan bukunya. Tidak peduli bahwa penindasan padanya belum selesai. Tidak peduli ketika seragam sekolahnya dirobek dan dibuang. Tidak peduli ketika mejanya penuh dengan coretan ‘Mati’. Tidak peduli ketika serangga keluar dari loker sepatu atau mejanya. Tidak peduli ketika seember air kotor terguyur padanya. Putranya telah berubah menjadi seorang anti-sosial.

Day Two - Mother

on Monday, June 21, 2010
Kabar buruk selalu tiba sama cepatnya dengan kabar baik. Begitu juga dengan kabar buruk yang satu ini. Ditambah dengan sifat suaminya yang selalu menyampaikan berita denga kelugasan tanpa basa-basi atau sesuatu yang mampu membuat penasaran. Berita yang disampaikan melalui pesan suara itu rasanya mampu membuat jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. Putranya di rumah sakit sekarang. Sedang menjalani operasi, untuk mengeluarkan sesuatu yang mengganjal tenggorokannya. Kamisama.

Dia segera bersiap ke rumah sakit. Tidak peduli bahwa kaos yang dipakainya terbalik. Tidak peduli pada potongan-potongan wortel yang terhampar di meja, menunggu minta direbus. Ya, apa yang bisa dipedulikannya lagi? Tidak ada apapun yang mampu merasuk ke dalam otaknya lagi, selain putranya. Rikkun. Dan Ricchan, tentu saja. Digendongnya putrinya itu dan dia segera bergegas menuju rumah sakit.

* * *

Sudah dua jam berlalu sejak operasi untuk mengeluarkan kerikil di tenggorokan Rikkun selesai. Kesadaran Rikkun juga baru saja kembali. Seharusnya, semuanya akan kembali baik-baik saja. Masa kritis atau masa apapun sudah berhasil dilewati putranya. Seharusnya, dia akan mendapati tatapan kesal atau tatapan sinis Rikkun karena kedua orang tuanya tidak ada saat dia butuh bantuan. Seharusnya, suaminya akan mampu menertawakan Rikkun yang tak mampu bersuara. Keceriaan yang biasa. Tapi, tak ada satupun yang terjadi.

Semuanya harapannya seakan lenyap begitu saja ketika kesadaran telah kembali pada tubuh mungil itu. Tarikan napas yang pertama membuat jemari-jemari kecilnya mencengkeram kain selimutnya erat-erat. Kedua pelupuk matanya terpejam semakin erat, menahan rasa sakit yang muncul. Mulutnya membuka dan memaksa udara masuk, dengan hasil cengkeraman yang semakin erat. Belaian, genggaman tangan, dan kecupan sudah dicurahkan olehnya dan suaminya pada tubuh mungil itu. Berusaha keras mengurangi rasa sakit yang sedang diderita putranya.

Ketika akhirnya sepasang mata itu terbuka, tidak ada tatapan kesal atau bahagia atau sinis. Yang ada hanyalah kehampaan dan rasa sakit yang menyengat. Rikkun seakan tidak mengenali siapa saja yang ada di sekitarnya. Tidak ada senyum lemah atau reaksi apapun ketika melihat orang tuanya atau Ricchan. Tatapan itu seakan tak memiliki fokus atau menolak menemukan fokusnya.

Ingin rasanya menangis dan menjerit keras. Dadanya sakit. Ibu mana yang tahan melihat anaknya menjadi seperti ini? Rikkun yang pendiam tapi tatapannya selalu menyiratkan apa yang dirasakannya. Rikkun yang tersenyum dan tertawa ketika melihat tingkah konyol ayahnya. Rikkun yang suka kesal ketika dipermainkan ayahnya dan diributi adiknya.

Air matanya mulai mengalir dan tak bisa dihentikan lagi ketika kesadaran itu merasukinya begitu saja. Rikkun yang dulu telah lenyap tak berbekas. Tidak ada yang baik-baik saja. Walaupun suara kekanak-kanakan putranya akan kembali setelah beberapa bulan. Walaupun semua luka-luka di tubuhnya akan lenyap, Rikkun takkan pernah lagi sama. Karena peristiwa yang dialaminya tidak hanya melukai fisiknya tapi juga jiwanya, mentalnya.

Day Two - Doctor

on Saturday, June 12, 2010
Rutinitas yang biasa. Rumah sakit dan ruang praktek. Bau antiseptik. Perawat yang berteriak memanggil nama-nama. Pasien dengan wajah penuh pengharapan. Tidak ada yang berubah. Selalu. Karena memang itulah pekerjaannya, tugasnya, kewajibannya. Seorang dokter.

Tapi, selalu ada yang akan berbeda. Bumbu dalam rutinitas. Seperti hari ini. Masih rumah sakit yang sama. Aroma yang sama. Suara yang sama. Yang berbeda adalah tempat dan pasiennya.

Unit Gawat Darurat. Tempat di mana banyak manusia yang meregang nyawanya di sini. Kecepatan adalah yang utama di sini. Pasiennya kali ini, sepasang manusia dengan rambut biru. Seorang ayah dan anaknya. Unik. Hanya saja, si anak sedang dalam kondisi yang tidak baik. Pucat dan kotor. Air mata mengalir karena rasa sakit tak tertahankan.

Oksigen sudah diberikan tapi tak ada tanda-tanda membaik. Ada sesuatu yang mengganggu jalur pernapasan anak ini. Tapi, apa? CT-scan pun dilakukan, sementara itu, persiapan operasi dilakukan. Si ayah yang cemas telah diminta dengan sangat oleh perawatnya untuk menunggu di luar. Biarkan ahli medis yang bekerja.

Hasil CT-scan sudah keluar. Ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan anak ini. Bukan logam. Apa itu? Kerikil, mungkin? Oke, urusan mengapa bisa ada kerikil di laring anak ini, bisa dipikirkan nanti. Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengeluarkan kerikil itu. Prosedur laringoskopi pun dilakukan.

* * *

“Dia sudah tak apa-apa. Hanya saja, tenggorokannya akan sakit walaupun hanya digunakan untuk bernafas. Rasa sakitnya akan semakin menjadi-jadi kalau digunakan untuk bicara. Butuh sekitar satu sampai dua bulan lagi untuk menyembuhkan lukanya.”

Ternyata, seunik apapun tampilan seorang manusia. Isinya tetap sama. Ekspresi shock yang biasa ditunjukkan oleh seorang ayah yang diberitahu kalau anaknya akan kesulitan untuk bernafas dan bicara selama satu atau dua bulan, juga muncul pada si ayah berambut biru. Ucapan terima kasih yang berkali-kali, seakan dia adalah seorang dewa penolong. Ekspresi sayang dan pedih yang muncul ketika dia membelai anaknya dengan lembut.

Itulah manusia. Jenis makhluk hidup yang harus dihadapinya setiap hari.

Day Two - Dad (Chapter III)

on Friday, June 11, 2010
Kamisama, di mana dia?

Rasanya, dia sudah mengelilingi hampir seluruh bagian kota Wakkanai. Tidak mungkin putranya itu ada di luar kota. Pikiran itu pun langsung merasuk ke otaknya begitu saja, tanpa bisa dicegah. Mungkin. Penculikan anak-anak sudah biasa terjadi, kan? Untuk diperdagangkan. Apalagi rambut Rikkun unik. Mungkinkah—

Hentikan semua pikiran buruk itu. Rikkun pasti baik-baik saja. Tapi, sedari tadi dia sudah bertanya pada siapapun yang ditemuinya. Tapi, tak ada yang mengaku telah melihatnya. Bukankah rambut sewarna langit itu adalah hal yang cukup mencolok? Bagaimana mungkin tidak ada yang melihat? Dia juga sudah berteriak-teriak memanggil putranya sampai suaranya serak. Tapi, Rikkun tak kunjung terlihat ataupun membalas panggilannya. Kamisama.

Apakah Kau mengabulkan doaku, Kamisama?

Ketika dia menoleh, dia mendapati sosok seorang anak dengan warna rambut yang sama dengannya. Hanya saja, seragam putih bersih yang seharusnya dipakai putranya tadi pagi, sekarang sudah lenyap. Seragam itu sudah penuh noda. Warna rambutnya pun seakan dihiasi noda-noda yang amat tidak sesuai dengan birunya.

“Rikkun!”

Anak itu menoleh. Tapi, tidak ada reaksi apapun yang ditunjukkannya. Segera dia berlari dan mendapati putranya tersayang. Terkejut setengah mati mendapati wajah pucatnya yang dipenuhi luka. Seragamnya yang bukan saja dinodai oleh coklatnya tanah tapi juga bercak-bercak merah—darah? Dan tatapan apa itu? Hampa. Juga, tak ada suara apapun yang keluar dari bibir mungil yang sudah dihiasi luka. Kamisama.

Dipeluknya putranya erat-erat. Sama sekali tidak menyadari ada seorang gadis yang sedari tadi menatap mereka berdua dengan tatapan heran, seakan bertanya, apa yang terjadi sebenarnya?

“Kita pulang, yuk, Ri—“

Uhuk. Uhuk! Ohok! OHOK!

Awalnya cuma batuk-batuk kecil. Dibelainya punggung putranya dengan lembut, berusaha menenangkan. Tapi, frekuensi batuk itu sama sekali tidak berkurang. Lama kelamaan semakin menjadi-jadi. Dan bercak merah itu menyembur begitu saja dari mulut putranya.

“Rikkun? Hei—“

Wajahnya sudah pucat, terlalu pucat malah. Ekspresi kesakitan terlihat jelas di sana. Nafasnya pun tersengal-sengal. Digendongnya putranya segera. Berlari menuju rumah sakit. Apa yang terjadi? Kamisama. Dia baru lima tahun. Apa yang sedang kau rencanakan pada tubuh mungil ini, Kamisama? Cobaan seberat apa yang Kau berikan, Kamisama?

Day Two - Gardener (Chapter II)

on Sunday, June 06, 2010
Astaga, sekali lihat saja dia tahu, ini penindasan. Apalagi ketika tubuh kecil itu dijatuhkan ke tanah. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan pun melayang ke tubuhnya. Hei, hei. Masih pagi kok sudah menindas orang. Ckck.

Ingin menolong si rambut biru? Jelas. Tidak lihat dia sudah melangkah maju mendekati gerombolan itu? Lagipula badannya lebih besar. Masa takut sama anak SMP? Malu! Anak-anak itu paling digertak sekali sudah kabur. Hajar sekali dua kali juga tak masalah. Anak nakal memang perlu diberi pelajaran, kan?

“HOI!! Pagi-pagi sudah memukuli orang! Tidak malu pada matahari?!”

Apa hubungannya dengan matahari? Matahari muncul subuh-subuh bukan untuk melihat orang dipukuli atau memukuli, kan? Yah, tidak terlalu ada hubungannya memang. Anggap saja hanya gertakan kecil sebagai penyambut pahlawan pembela kebenaran ini. Huahahaha.

Keempat orang itu menoleh menatapnya. Sedangkan si rambut biru, tubuhnya melengkung di tanah. Kesakitan, sepertinya. Dia melangkah maju dengan langkah tegap dan dengan postur mengancam. Anak berandalan begini, diancam sedikit pasti sudah takut.

Benar, kan? Lihat saja, anak-anak SMP itu mundur selangkah dua langkah sebelum akhirnya berlari pergi, dengan makian-makian di mulut, tentunya. Didekatinya si rambut biru. Wajahnya terlihat mengkerut kesakitan. Ada beberapa bercak darah di wajah yang sudah penuh dinodai debu-debu tanah. Bajunya, kotor semua, jelas.

“Kau tak apa-apa?”

Pertanyaan bodoh. Mana ada anak SD yang setelah dipukul dan ditendang seperti tadi, akan baik-baik saja? Tubuh mereka kan masih lemah. Masih dalam tahap pertumbuhan. Dan dia benar-benar menyesal telah menanyakan pertanyaan bodoh itu.

Anak itu menggeleng, seakan berkata tak apa-apa. Ck, tidak perlu menguasai kemampuan membaca pikiran atau menyandang gelar dokter hanya untuk tahu, bahwa anak ini terluka dan mungkin cukup parah. Tapi, lihat, anak itu bangkit perlahan. Mengambil tasnya dan melangkah menuju gerbang sekolah.

Tanpa ucapan terima kasih sedikitpun pada penolongnya, eh? Bukannya dia gila ucapan tapi setidaknya, berterimakasih termasuk sopan santun, kan? Anggukan atau bungkukkan tidak dia tolak kok. Apa anak itu tidak diajarkan bagaimana bertutur kata dan bersikap yang baik dalam lingkungan masyarakat? Apa yang diajarkan sekolah ini sebenarnya? Atau mungkin, apa yang diajarkan orang tua anak itu?

Ck, sudahlah. Anggap saja dia sedang beramal. Lagipula ini masih pagi. Hari masih panjang. Satu peristiwa kecil yang tidak menyenangkan tidak perlu merusak seluruh harinya, kan?

Day Two - Gardener (Chapter I)

on Friday, June 04, 2010
Pagi yang cerah. Benar-benar cuaca yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu di kebun. Oh, oke, itu bukanlah pilihan tapi kewajiban. Pekerjannya sebagai tukang kebun, bagaimanapun cuacanya, dia harus menghabiskan waktunya di kebun. Tapi, cuaca yang cerah akan menambah semangatnya, jelas.

Oh, jangan dikira dia bekerja di kebun milik seorang miliuner atau bangsawan. Tidak, tentu saja. Lagipula ini memang masih di negara Jepang tapi Jepang itu luas, kau tahu? Dan kebun tempatnya bekerja terletak di perfektur paling utara di Jepang. Perfektur Soya, paling utara di Hokkaido, kalau geografimu jelek. Kebun yang menjadi tanggung jawabnya terletak di sebuah sekolah di kota Wakkanai. Oke, hentikan bicara soal geografi, karena geografinya juga jelek. Dia lebih tertarik pada biologi bagian tumbuhan, tentu saja.

Sekolah tempatnya bekerja bisa dibilang sama seperti rata-rata sekolah lainnya yang sering digambarkan di komik-komik. Bangunan lebar dengan halaman yang teramat sangat luas di depannya. Gedung sekolah ini memang sudah tua. Jadi, jangan berharap ada desain modern di sini.

Kebun yang harus diurusnya ada di belakang gedung itu. Di sampingnya, ada taman bermain untuk murid-murid sekolah. Cuma untuk murid SD kelas-kelas awal, yang badannya masih kecil, tentunya. Anak SMP apalagi SMA tidak perlu main-main dengan luncuran atau ayunan atau bola panjat, kan? Yang ada, badan-badan besar mereka akan tersangkut pada alat-alat permainan yang khusus dibuat untuk anak-anak itu.

Jadi, pagi itu dia sedang melakukan kegiatan rutinnya yaitu menyapu dedaunan kering yang terhampar di tanah. Tapi, pagi itu, kegiatan rutin itu menjadi tidak biasa ketika dia mendengar teriakan yang terdengar sangat kasar. Kalau tidak salah, berarti benar, arahnya dari taman bermain.

Penasaran? Jelas. Teriakan kasarnya memang cuma sekali. Tapi, setelah itu, kata-kata hinaan yang diucapkan dengan intonasi menyakitkan meluncur dengan volume yang cukup keras. Siapa yang tidak sakit telinga mendengar kalimat-kalimat brengsek seperti itu. Lagipula, ini sekolah, tempat di mana manusia dididik untuk menjadi seseorang yang terpelajar baik tingkah lakunya maupun otaknya. Kalimat-kalimat yang sampai sekarang masih mengudara ini benar-benar tidak pantas didengar di lingkungan sekolah!

Dia pun meninggalkan pekerjaannya sejenak dan mengintip taman bermain itu. Empat orang anak laki-laki yang badannya cukup besar. Mungkin anak SMP. Lalu, seorang anak yang badannya jauh lebih kecil dengan rambut yang, mm, biru. Anak SD mungkin. Keempat orang itu mengelilingi si rambut biru. Mendorong-dorong si rambut biru, dengan tenaga yang tidak ditahan sampai tubuh kecil itu cuma bisa mengikuti arah dorongan-dorongan itu. Caci maki pun terus terlontar.

Day Two - A Little Girl (Chapter III)

on Thursday, June 03, 2010
Berlari secepat dia bisa menuju kembali ke kelas. Sensei pasti mau membantu! Pasti! Riki-kun memang nakal karena bawa-bawa binatang-binatang jelek itu. Tapi, kan harusnya sensei yang marahin. Kok malah orang-orang seram itu, sih!

“Sensei! Ada yang mukulin Riki-kun!”

Sensei kelihatan kaget karena tiba-tiba dia membuka pintu dan berteriak keras, tidak peduli pada teman-teman barunya. Sensei segera bertanya, di mana?

“Di tempat main!”

Sensei meminta teman-teman sekelasnya tenang dan duduk diam. Lalu, sensei segera mengikutinya ke taman bermain sekolah. Cemas. Riki-kun baik-baik saja, kan? Biarpun Riki-kun nakal, tapi tetap mau kenalan kok. Tetap mau jadi teman Riki-kun, asal Riki-kun ga nakal lagi. Ga bawa-bawa binatang jelek lagi! Jadi, Riki-kun tunggu sensei, ya. Sensei pasti marahin orang-orang seram itu.

Mereka sudah sampai di taman bermain yang tadi ditinggalkannya. Kosong. Eh? Ke mana Riki-kun dan orang-orang seram itu? Kenapa ga ada siapa pun di tempat main? Senseinya lagi-lagi tanya, di mana?

“Ga tau! Tadi Riki-kun di sini kok! Dipukuli orang-orang seram! Kok ga ada sih?”

Menoleh ke kanan, kiri, belakang, ke mana saja. Tidak ada siapa-siapa. Sepi. Kosong. Riki-kun di mana sih? Sudah dipanggilin sensei, nih! Masa kabur lagi! Padahal sudah capek juga teriak-teriak panggil Riki-kun. Kalau mau main petak umpet, jangan sekarang, Riki-kun!

Sensei menepuk kepalanya pelan. Katanya, nanti biar sensei yang lain yang cari Riki-kun. Katanya, sekarang waktunya belajar. Jadi, lebih baik mereka masuk kelas sekarang. Cuma bisa mengangguk dan mengikuti senseinya. Riki-kun pakai kabur sih! Ga mau temenan ah sama Riki-kun! Nakal! Sudah sukanya bawa-bawa kodok dan binatang-binatang jelek, sukanya kabur lagi! Ga tahu apa, sudah capek-capek lari, buat panggilin sensei! Cuma buat nolongin Riki-kun, tahu!

Day Two - Dad (Chapter II)

on Tuesday, June 01, 2010
Ngomong-ngomong, cerahnya langit hari ini sudah menyerupai warna rambutnya. Warna yang indah sekaligus menyedihkan, menurutnya. Dia cuma bisa berharap nasib yang menimpanya dulu, takkan terulang pada Rikkun. Dikucilkan oleh masyarakat. Lagipula, dibandingkan dengan zamannya dulu yang tradisi dan budayanya masih teramat kental, zaman sekarang warna rambut yang tidak hitam, sudah mulai bisa ditolerir. Walaupun rata-rata warna yang masih bisa ditolerir adalah pirang atau coklat atau merah. Biru masih bukanlah warna yang lazim. Oke, sebenarnya, bukan warna biru penyebabnya dikucilkan. Darah silumanlah penyebabnya. Masyarakat takut entah pada apa.

Seharusnya, sekolah hari kedua akan berakhir pada pukul 12 siang. Tidak terlalu siang karena ini masih hari kedua dan mereka toh masih anak-anak berusia lima sampa enam tahun. Sekolah saja pasti lebih banyak main-mainnya. Kalau lama-lama, kasihan juga gurunya mengurus puluhan anak kecil yang biasanya hiperaktif.

Sebagai ayah yang baik, tentu saja dia pergi menjemput putranya itu. Dia malah sudah datang sebelum jam 12. Sama sekali tidak ingin membuat putranya itu menunggu. Tidak sabar menanti cerita yang pastinya amat singkat meluncur dari bibir putranya. Sudah mendapat temankah putranya? Atau mungkin, sudah ada anak perempuan yang mengajak putranya kenalan? Biasanya anak perempuan suka yang lucu-lucu, kan? Dan rambut biru sewarna langit pasti termasuk lucu!

Tapi, kenyataan berkata lain. Seakan nasib tak ingin berpihak padanya sedikitpun. Putranya, yang memiliki warna rambut sama dengannya, tidak terlihat di manapun. Dia sudah berkeliling ke seluruh sekolah, bahkan kamar mandi, tapi hasilnya nihil. Anak itu tidak terlihat sama sekali. Guru-guru atau orang tua murid atau murid-murid yang ditemuinya pun tidak ada yang memberikan informasi yang berarti.

Kamisama, ke mana anak itu? Anak yang patuh itu. Tidak mungkin dia pulang sendiri. Tadi pagi saat dia melepaskan putranya itu untuk memasuki gedung sekolah, dia sudah berjanji akan menjemput saat pulang sekolah. Tolong jaga anak itu, Kamisama. Jangan sampai ada sesuatu yang buruk menimpanya. Tidak, jangan anak itu.

Dia takut, apa yang dialaminya dulu akan terulang lagi. Bagaimana kalau anak yang pendiam itu ditindas oleh seniornya? Ah, mampukah anak itu bertahan? Mampukah mentalnya bertahan? Rikkun tidak punya keceriaan yang biasanya dibutuhkan untuk bertahan. Tidak, dia sendiri bahkan tidak tahu apa yang ada di pikiran putranya itu. Kamisama, lindungi Rikkun, tolong.