Farewell (Part III - Finish)

on Monday, November 01, 2010
“Jadi, kau memilih pergi? Ke dunia yang kau anggap kebohongan semu itu?”

Setengah tahun telah berlalu sejak kejadian di beranda lapangan. Aku masih sibuk mengepak barang-barangku yang hanya sedikit ke dalam sebuah tas, ketika pertanyaan yang dilontarkan dengan nada kejengkelan tingkat tinggi itu terdengar olehku. Ya, siapa lagi kalau bukan Ruth? Sahabatku sekaligus lawanku bertengkar setengah tahun terakhir ini. Bedanya, kami jadi lebih sering benar-benar bersitegang dan menjurus ke pertengkaran karena tidak ada Rev yang akan mendamaikan kami secepat mungkin. Yah, sejak kematian Rev, hubungan kami memang memburuk. Ruth masih marah karena aku tidak menunjukkan kesedihan apapun. Mr Phillipe, atas paksaan dariku, menyembunyikan fakta bahwa aku pernah menangis, tentu saja.

Tersenyum manis-semi-menyebalkan seperti biasa, “Iya, kenapa? Sudah kangen?”

“Hihhh! Siapa juga yang kangen! Cuma tanya kok!”

“Oh, cuma tanya.”

Aku pura-pura tidak mempedulikan pipinya yang sudah menggembung kesal dan kembali menyibukkan diri dengan barang-barangku. Keheningan menyelimuti kamar laki-laki yang sudah kudiami selama sebelas tahun lebih tiga bulan atau setara dengan umurku sekarang. Ruth yang tidak bicara lagi dan aku yang malah pura-pura menyibukkan diri.

“Kenapa pergi? Bukannya dulu kita pernah berjanji untuk terus bersama sampai mati? Rev ma—pergi, bukan berarti perjanjian itu bubar, kan?”

Biarpun Ruth bodoh, entah mengapa, aku tahu, pertanyaan ini akan datang cepat atau lambat. Mengapa aku akhirnya memutuskan untuk keluar dari panti asuhan dan bersekolah di sebuah negeri dongeng. Dunia sihir yang tidak pernah terbukti kebenarannya dan aku sendiri tidak pernah percaya kalau sihir itu ada. Tapi, aku malah memutuskan untuk bersekolah di sana alih-alih mulai bekerja atau melanjutkan pendidikanku secara normal. Ya, aku benar-benar memilih Hogwarts.

“Aku bosan melihatmu, Ruth. Makin hari, kok makin jelek.”

“Serius, Resse!”

“Memangnya, kalau aku bicara serius, kau bisa mengerti? Nanti malah pusing tu—“

Ruth melotot. Cengiran lebar di bibirku pun otomatis memudar sedikit.

“—oke, oke. Karena kurasa, lebih baik kita berpisah dulu, Ruth. Lagipula, kita masih bisa bertemu setiap liburan musim panas. Kalau kau kangen—iya, iya! Tidak usah pukul-pukul. Itu serius—bagian kita berpisahnya.”

Tampang Ruth masih saja terlihat kesal. Yah, maklum, dia jadi sendirian, kan?

“Kau memang jahat, Resse.”

“Iya, jahat. Khusus padamu.”

“....”

“Nah, baik-baik, ya. Semoga waktu kita bertemu lagi, kau jadi tambah pintar dan akan kutunjukkan padamu sihir-sihirku—”

“Kau benar-benar jahat.”

“...”

“Dan kenapa kau jadi pendiam begini? Biasanya cerewet menyebalkan.”

“Bukannya kau yang cerewet?”

Dan perbincangan tak penting itu masih terus berlanjut dan baru berakhir ketika sudah benar-benar tiba saatnya aku berangkat. Menuju London, kota yang bermil-mil jauhnya dari sini. Kota yang tak pernah kukunjungi walaupun dalam mimpi. Mr Phillipe dan Mrs Jane, yang sangat mendukung pilihanku ini mengantarkanku ke stasiun sambil memberikan banyak nasihat. Anak-anak yang lain, melambai-lambaikan tangan mereka dengan riang alih-alih berwajah suram karena mereka sangat berharap kalau aku akan mengirimkan cerita tentang dunia sihir secara berkala. Lalu, Ruth, pipinya masih menggembung waktu aku terakhir melihatnya. Jelas anak perempuan itu masih kesal dan aku cuma bisa melambai riang padanya. Tak bisa melakukan apapun lagi untuk hanya sekadar menghiburnya atau malah membuat pipinya semakin menggembung.

Tapi, yang pasti, aku akan kembali.

So, farewell ‘till we meet again.

* * *

Farewell (Part II)

on Saturday, October 30, 2010
“Tidak makan malam, Resse?”

Dua bulan sudah berlalu sejak kematian Rev. Kematian yang aneh karena tidak jelas penyebabnya. Kematian yang datang begitu tiba-tiba tanpa peringatan apapun. Dewa kematian seakan merenggut nyawa Rev seketika, tepat di depan mataku, Ruth, dan puluhan anak-anak panti asuhan lainnya, tidak mengizinkan adanya kata perpisahan apapun. Padahal, detik sebelumnya, kami masih tertawa bersama melihat Ruth yang didandani ala penari India dan menari berputar-putar mengelilingi pohon.

“Tidak lapar.”

Entah sudah berapa lama aku duduk meringkuk di lantai beranda di sisi lapangan. Kaki tertekuk, kedua lengan memeluk kaki, dan wajah terbenam dalam lipatan lenganku. Lapangan di depanku kosong karena ini adalah jam makan malam. Serpihan salju terus turun sejak beberapa jam yang lalu. Tapi, aku seakan tak peduli. Aku juga takkan mengangkat kepalaku kalau tidak ada selimut yang tiba-tiba membungkus tubuhku dan sebuah sapaan sekaligus pertanyaan dengan suara yang berat tapi menenangkan.

“Sudah dua bulan berlalu dan kau benar-benar sudah berjuang keras, eh, Resse? Panti asuhan tidak lagi sesuram dulu. Anak-anak juga sudah bisa bermain dengan keriangan mereka masing-masing. Semua seakan sudah mulai melepaskan diri dari masa berkabung dan mencoba bangkit kembali untuk menjalani hidup dan rutinitas yang normal seperti sebelumnya. Semuanya terlihat baik-baik saja. Berkat kau yang setiap hari berkeras mengajak mereka bermain dan berbagi keceriaan. Tapi... apa kau baik-baik saja, Resse?”

“Aku baik-baik saja, Mr Phillipe.”

“Boleh tanya kalau begitu? Kenapa kau tidak menangis? Aku tahu kau terkejut. Sangat terkejut dan tidak percaya. Tapi, tidak seperti yang lain, kau tidak menangis. Bahkan aku yang sudah sebegini tua pun, menangis. Kenapa kau yang masih sangat muda, kau yang merupakan sahabat terdekatnya, malah tidak menangis?”

“Haruskah?”

Aku mendongak, menatap wajah seorang pria yang sudah dipenuhi guratan-guratan, tanda dimakan usia. Rambutnya yang sudah hampir semuanya berwarna kelabu disisir rapi ke belakang. Sebuah kacamata bulat menudungi sepasang mata biru cemerlang. Bibir pria itu tampak selalu tersenyum walaupun mungkin, sebenarnya tidak. Aura ketenangan selalu terpancar dari Mr Phillipe, membuatku selalu merasa tenang, segundah apapun aku.

“Itu sebuah hukum tak tertulis, menurutku. Tuhan menciptakan air mata bukan hanya untuk membasahi mata dan menjalankan fungsi biologis lainnya. Tapi, juga sebagai sarana untuk manusia, untuk menumpahkan perasaan mereka. Dan Tuhan tidak memberikan air mata hanya untuk perempuan. Tuhan juga memberikan air mata pada laki-laki dengan fungsi yang sama. Apa salahnya kalau laki-laki menangis? Apa salahnya kalau anak laki-laki menangis, Resse?”

Aku menggeliat bangkit, berdiri di atas dua kaki pendekku, membiarkan selimut yang menudungi tubuhku jatuh begitu saja. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku celanaku, melindunginya dari hawa dingin yang tiba-tiba terasa semakin mendingin. Tatapanku terarah pada butiran-butiran salju yang terus jatuh, tidak berminat menatap pria tua yang pasti sedang menatap punggung kecilku, mengharapkan respon apapun dari anak laki-laki berambut pirang dengan poni sebatas alis ini.

“Salahkah kalau aku bisa melepas kepergiannya tanpa menangis, Mr Phillipe? Bukankah katanya, di film-film, orang yang sudah meninggal tidak suka kalau dilepas dengan tangisan? Katanya, air mata membuat mereka tidak tenang untuk pergi, membuat arwah mereka gentayangan tak bisa pulang ke tempat mereka. Aku hanya ingin membuat Rev tenang, di manapun dia berada.”

Sesuatu memberati kepalaku. Mr Phillipe telah berdiri di sisiku dengan tangannya yang besar membelai pelan rambut pirangku.

“Kurasa, Rev tetap takkan tenang kalau melihatmu seperti ini, Resse.”

“Seperti ini bagaimana? Aku baik-baik saja dan Rev bisa tenang.”

Hening sejenak. Mungkin Mr Phillipe sedang mencari cara untuk memancing emosiku keluar. Mungkin Mr Phillipe heran mengapa aku tetap keras kepala dan masih sulit untuk dibujuk. Entahlah. Yang pasti, aku memang merasa kacau belakangan ini. Awalnya, aku baik-baik saja. Aku masih bisa mengajak dan memaksa anak-anak untuk bermain dan bangkit dari masa duka mereka. Tapi, ketika anak-anak sudah kembali ceria, aku malah merasa ada sesuatu yang hilang. Aku sering lihat di film-film, seseorang yang sudah ditinggal pergi oleh orang yang mereka sayangi, sering lupa kalau orang tersebut sudah meninggal, sudah tak mungkin ada di sisi mereka. Kukira, aku takkan jadi seperti itu. Kukira, aku akan selalu sadar bahwa Rev sudah tak ada di sisiku. Tapi nyatanya, aku sering terbangun dan melongok tempat tidur Rev, ingin membangunkannya. Aku juga pernah meminta pendapat Rev ketika sedang memodifikasi sebuah permainan, membuat suasana ceria yang sudah kubangun susah payah, kembali suram. Dan masih banyak lagi. Aku tetap tidak bisa mengingat bahwa dia telah pergi untuk selamanya. Benar-benar selamanya.

“Bagaimana kalau Rev sendiri yang memberitahuku bahwa dia tidak bisa pulang karena dia mencemaskanmu, Resse?”

Aku menatap pria di sisiku dengan tatapan skeptis.

“Memangnya, Mr Phillipe bisa melihat arwah atau roh?”

“Biasanya, tidak. Tapi, mungkin kan, arwah seseorang yang begitu tidak tenang, memutuskan untuk memunculkan diri, supaya bisa memberitahukan permasalahannya?”

“Kenapa dia tidak memunculkan diri padaku?”

“Entahlah.”

“Tanyakan padanya. Dan bilang padanya, pulang sana. Aku baik-baik saja, tidak perlu dicemaskan.”

“Dia sudah mendengarmu dan dia... tak ingin membuatmu makin tak bisa melepas dirinya.”

Tatapan skeptisku berubah kesal. Kusingkirkan tangan Mr Phillipe yang masih ada di atas kepalaku. Aku berbalik dan melangkah sepanjang aku bisa menuju pintu. Aku tidak ingin makan malam, tidak ingin bermain, tidak ingin menemui anak-anak lainnya. Aku hanya ingin lepas dari Mr Phillipe sekarang. Yeah, Mr Phillipe berhasil. Emosiku naik. Aku marah, aku kesal—

Tarikan yang kuat di lenganku menghentikan langkahku, memaksaku berbalik dan kembali menatap Mr Phillipe, yang sudah berlutut di depanku sehingga mata kami sejajar. “Resse, kita selesaikan di sini, oke?”

—dan aku capek.

“Selesaikan apa?”

“Topengmu. Lepas, Resse. Sekarang.”

“Topeng apa, Mr Phillipe? Ini mukaku yang bia—”

Telapak tangan kanan Mr Phillipe yang begitu besar telah melekat di wajahku, menciptakan kegelapan di area pandangku. Tidak. Jemari mungilku berusaha menarik-narik tangan besar itu, mencoba melepaskannya. Tidak mau. Tapi, semakin aku berusaha, telapak tangan itu malah semakin kencang dan ujung-ujung jemarinya serasa mencengkeram wajahku, seakan ingin menarik lepas sesuatu yang menghalangi wajahku.

AKU TIDAK MAU!

Ketika perjuanganku melepaskan tangan besar itu mulai melemah, Mr Phillipe malah mengendurkan cengkeramannya. Dan bagaikan sihir, sesuatu yang kupendam jauh dan dalam serta entah di mana, menyeruak keluar. Menindih yang lainnya dan berjuang untuk tampil di paling depan. Berjuang untuk mendominasi emosiku dan menunjukkannya pada siapapun.

Jangan, kumo—

Tangan besar itu pun lenyap. Cahaya remang-remang kembali memasuki mataku. Tapi, penglihatanku sudah tak sejelas tadi. Ada yang menghalangi, menyebabkan semuanya buram dan tak jelas. Aku tahu apa itu. Air mata. Tanganku bergerak naik, mencoba menghapus atau sekadar menutupinya. Tidak, tidak boleh menangis. Tapi, Mr Phillipe lebih cepat. Kedua pergelangan tanganku dihentikan lajunya dan air mata pun terjatuh.

Aku meronta.

Aku tidak mau menangis! Tidak boleh! Laki-laki tidak boleh menangis. Resse tidak boleh menangis. Tidak boleh atau Mr Phillipe akan kecewa. Resse harus selalu ceria. Tidak boleh sedih. Tidak boleh suram. Tidak boleh, tidak boleh hanya karena Rev meninggal, aku jadi kacau. Rev hanya satu dari sekian anak yang pergi untuk selamanya. Nanti, pasti ada gantinya. Nanti, pasti akan ada Rev yang lain. Nanti, pasti—

Tubuh mungilku ditarik dan langsung terbenam dalam pelukan Mr Phillipe.

kenapa harus Rev?

Ya, aku menangis. Aku terisak. Membiarkan rentetan pertanyaan yang diawali dengan ‘mengapa’ mengalir keluar dari mulutku. Menyingkirkan semua keceriaan—atau topeng seperti kata Mr Phillipe­—menggantinya dengan ekspresi yang sudah kupendam selama hampir dua bulan lamanya. Membiarkan emosiku yang selalu tertata rapi, diacak-acak. Semuanya kucurahkan. Benar kata Mr Phillipe, aku tidak bisa seperti tadi terus-menerus. Suatu saat, aku akan mencapai batasnya. Suatu saat, aku akan begitu tidak mengerti terhadap apapun. Suatu saat, aku akan merasa lelah walaupun hanya untuk tersenyum.

Karena aku hanya anak laki-laki berusia sepuluh tahun.

* * *

Farewell (Part I)

on Friday, October 29, 2010
He’s gone! He—he’s death!”

So, what?”

PLAKK!

Aku tahu, bukan kata-kata yang akan menjawab pertanyaan sokku. Tapi, tamparan. Atau malah mungkin pukulan, tinju, ludahan, dan berbagai macam penghinaan lainnya. Tidak akan ada yang tersenyum kecil mendengar kesinisanku sekarang. Lebih tepatnya, tidak ada yang mampu untuk menarik naik ujung-ujung bibir mereka hanya untuk memaksakan sepotong senyum. Puluhan pasang mata dibasahi oleh air mata. Ratusan wajah dihiasi oleh kesedihan. Tak ada kegembiraan atau keceriaan setitik pun. Tapi, itu wajar. Siapa yang mampu bergembira sekarang? Seseorang telah pergi untuk selamanya. Seseorang telah meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun perpisahan. Pergi begitu saja.

Mereka berteriak. Mereka menangis. Mereka jatuh.

Tapi, aku tidak.

***

“Hei, Ruth. Ayolah. Mau sampai kapan bersedih? Sudah seminggu lewat.”

“Kau tahu apa, sih, Resse? Kau tidak menangis waktu pemakaman Rev. Kau bahkan tidak sedih sama sekali! Padahal kukira, kau adalah sahabat terdekat Rev. Sahabat terbaik Rev!”

Aku diam saja mendengarkan ocehan Ruth, sahabatku. Anak perempuan dengan rambut coklat berombak yang wajahnya biasa saja. Tapi, mulutnya pedas atau lebih tepatnya, blak-blakan seperti selayaknya anak perempuan seusianya. Selalu mengucapkan apapun tanpa dipikir terlebih dahulu. Cerewet dan sedikit egois.

“Mungkin kau juga takkan menangis kalau aku mati. Kalau Mrs Jane mati, kalau Mr Phillipe mati, kalau Kay—“

Stop it. Kau tidak berencana membunuh seluruh isi panti asuhan ini, kan? Oh, tunggu. Kau takkan mampu melakukan semua itu, tentu sa—”

“Berapa orang sahabat yang harus mati supaya kau bisa menangis, Resse?!”

Aku menghembuskan napasku keras-keras. Seminggu ini, topik ini yang terus-menerus dibahas. Rev, Rev, dan Rev. Tidak ada topik lain. Anak-anak hampir tidak bisa kembali ke dalam rutinitas harian mereka. Sekolah, bermain, mengerjakan PR. Mereka sekolah biarpun tak berminat, mereka mengerjakan PR seadanya, tapi mereka sama sekali tak mampu bermain. Ruang tengah yang biasanya ramai di sore hari seperti ini, sekarang tenang. Hanya terdengar suara televisi yang ditonton oleh anak-anak balita, anak-anak yang masih mudah dialihkan perhatiannya. Sisanya? Hanya duduk-duduk dengan buku atau mainan di depan mereka. Buku yang tak terbaca, mainan yang dimainkan tanpa semangat. Panti asuhan ini seakan menolak untuk bangkit dari masa duka.

Karena Rev yang pergi.

Ya, Rev.

***

Musim dingin.

Kau tahu, waktunya bermain salju. Di halaman seluas setengah lapangan sepakbola, mereka bermain. Bukan cuma main lempar bola salju atau membuat orang-orangan salju, ada kisah di balik permainan mereka. Ada raja, ratu, putri, dan pangeran. Raja Rev, Ratu Kelly, Putri Ruth, dan Pangeran Tom. Tidak ada aku? Memang tidak ada. Aku tidak pernah suka menjadi anggota dari keluarga inti kerajaan. Aku lebih suka menjadi jendral. Karena jendral tidak disembah-sembah setiap saat. Jendral selalu ada untuk melindungi keluarga kerajaan. Jendral juga yang paling pintar karena selalu menyusun strategi peperangan. Bagiku, jendral terdengar lebih keren daripada raja ataupun pangeran. Lagipula, aku tidak cocok menjadi raja. Mm, mungkin aku cocok jadi pangeran. Tapi, berpasangan dengan Putri Ruth? No, thanks. Aku belum mau tertular bodohnya yang tak bisa diobati itu.

Permainan kami tak pernah tak berkisah dan tak pernah sama serta tak pernah umum. Kalau anak-anak biasa bermain kejar-kejaran, kucing dan anjing, ikan dan pelikan, bebek dan entah apa, kami tidak. Selalu ada tambahan atau modifikasi hasil dari pemikiranku, Rev, dan Ruth. Walaupun lebih sering Rev yang menyumbang ide. Permainan kejar-kejaran dibuat menjadi sebuah permainan kaki dan mulut. Kaki untuk berlari, mulut untuk mendebat. Kalau tertangkap, masih ada mulut yang bisa mendebat untuk melindungimu atau mungkin, malah semakin menjerumuskan dirimu pada si pengejar. Kejar-kejaran tidak lagi menjadi permainan dengan perjuangan masing-masing individu yang berusaha tidak tertangkap, kami membuatnya menjadi berpasangan dan tim. Kisahnya? Dunia fabel yang terputar balik. Kucing mengejar anjing, ikan mengejar pelikan, kelinci mengejar ular, bebek mengejar beruang kutub. Dan tentu saja, permainan ini harus siap untuk dimainkan oleh delapan puluh orang anak.

Tanpa Rev, mungkin takkan pernah tercipta permainan yang menyenangkan untuk dimainkan delapan puluh orang sekaligus. Bukan hanya delapan puluh orang sebagai figuran tapi delapan puluh orang sebagai pemeran utama yang tak diizinkan untuk hanya duduk diam, menonton, dan menyoraki.

“Apa serunya jadi jendral?”

Aku menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Rev. Anak laki-laki berambut pirang cepak dan beriris mata biru itu tiba-tiba saja sudah duduk di lantai beranda, di sisiku.

“Apa serunya jadi raja?”

“Tidak sopan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Resse.”

“Tapi, kau tahu, aku lebih suka mengembalikan pertanyaanmu daripada menjawabnya langsung.”

Rev menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk senyum lurus sebelum menjawab pertanyaanku. “Jadi raja itu menyenangkan. Cuma duduk tapi bisa melihat apa saja yang dilakukan rakyatnya. Kalau diperlukan, raja juga bisa ikut bergabung dengan rakyatnya. Raja bisa beristirahat sesuka hati. Raja juga pasti dituruti dan dihormati oleh rakyatnya. Raja bisa memerintah sesuka hati... Giliranmu, Jendral.”

“Yah, kau suka memerintah, aku... suka diperintah? Kau... punya kharisma pemimpin, aku tidak? Jendral itu menyenangkan bagiku. Kalau raja, ratu, pangeran, dan putri dalam bahaya, yang menolong jendral, kan? Kalau ada perang, jendral juga yang maju pertama kali, kan? Nah, jendral itu paling keren. Kalau pulang dari perang yang membuahkan kemenangan, siapa yang paling dielu-elukan? Jendral.”

“Kalau kalah?”

“Jendral juga yang dihina-hina.”

“Nah, apa asyiknya?”

Aku menatap sahabatku, agak lama sampai alis Rev bertaut menunjukkan kebingungan. “Karena itu berarti, raja, ratu, pangeran, dan putri tidak perlu menanggung hinaan apapun. Karena kesalahan murni milik jendral dan jendrallah yang akan menanggungnya sendiri. Semua hinaan untuk anak buah jendral pun ditanggung oleh si jendral.”

Apa asyiknya?” tuntut Rev tak mengerti.

Aku terdiam, memilih kata-kata yang cocok supaya mudah dicerna oleh sahabatku. Dan ketika bicara, aku menatap anak-anak yang masih bermain di lapangan alih-alih sahabatku yang sedang menanti jawaban. “Asyik karena aku tak perlu melihat sahabatku bersedih.”

Hening sejenak. “Berapa umurmu, Resse?”

“Retoris, Rev.”

Senyum lebar pun sama-sama menghiasi bibir kami.

***

A Creature? - III

on Monday, August 02, 2010
“Rikkun masih saja tidak bisa diajak bercanda,” keluh sebuah suara berat.

“Bebek? Tidak bisakah memikirkan hewan lain yang lebih berbahaya? Serigala? Singa? Macan? Banyak binatang yang jauh lebih menyeramkan,” tuntut sebuah suara sopran dengan kesal. Menghela nafas. “Setelah ini, Rikkun pasti akan semakin sulit dikelabui.”

“Padahal aku ingin melihat dia tertawa. Sudah berapa tahun aku tidak melihatnya tertawa?”

Menghela nafasnya lagi. Ya, kapan terakhir kali tawa singgah di bibir mungil itu? Sejak peristiwa itu, semua kecerian Rikkun seakan diperas habis. Yang tersisa hanyalah kepahitan dan kehampaan yang terus menggerogoti tubuh mungil itu. Dia sudah teramat bersyukur bahwa Rikkun tidak pernah mencoba bunuh diri. Atau mungkin belum?

“Jangan bercanda tentang siluman pada Rikkun. Baka. Dia sensitif pada hal itu. Baka. Baka.”

“Iya, aku bodoh. Tidak harus diucapkan sampai tiga kali, kan?” Menatap istrinya dengan kesal lalu memberikan sebuah kecupan di bibir wanita itu. Seperti biasa, masih sama seperti saat pertama kali dia melakukannya, pipi istrinya langsung memerah.

* * *

“Rikkun! Rikkun!” BRAKK! “Rikkunnn!!”

Mengangkat kepalanya dari buku yang sedang dibacanya. Adiknya sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah merengut. Sudah berapa kali Ricchan memanggilnya tadi? Dia cuma mendengar panggilan terakhir yang diawali dengan suara gebrakan pintu kamarnya.

“Apa, Ricchan?”

“Mainnnn!!”

“Main apa?”

Tangan kiri adiknya yang sedari tadi tersembunyi di belakang tubuh mungil itu, sekarang ditunjukkan. Sebuah boneka... bebek dengan warna yang tidak wajar. Paruhnya memang jingga. Tapi, tidak warna bulunya. Biru, sewarna langit cerah, sewarna dengan rambutnya. Itu adalah hadiah ulang tahun Ricchan dari ayahnya. Entah apa maksud ayahnya itu memberikan sebuah boneka bebek pada adiknya. Menyindirnya karena tidak bisa diajak bercanda malam itu?

Tapi, tidak, memang tidak ada boneka bebek dengan bulu berwarna biru. Boneka itu diwarna, tentu saja. Oleh adiknya dan ayahnya. Sejak saat itu, boneka itu menjadi mainan kesayangan Ricchan. Selalu dibawa ke mana-mana. Selalu dimainkan kapanpun. Sudah tidak bisa dipisahkan sepertinya.

“Ricchi mau diapain?” Itu nama boneka bebek biru ini, ngomong-ngomong. Seperti punya saudara lagi, eh? Adik laki-laki berwuju boneka bebek berwarna biru. Ergh. Mungkin dalam hati ayahnya, laki-laki itu sudah tertawa puas karena berhasil mempermainkannya habis-habisan. Dia juga tidak mampu lagi memaksa Ricchan mengganti nama bebek itu.

“Warnain paruhnya jadi biru!”

Kamisama.

A Creature? - II

on Monday, July 05, 2010
“Sebegitu penasarannya?” Helaian rambut yang menutupi dahinya disibakkan ayahnya dan sebuah kecupan mendarat di keningnya.

Tiba-tiba saja, tubuh dan lengan besar yang sedari tadi melindunginya lenyap. Angin malam pun segera menerkam tubuh kurusnya. Dipalingkannya wajahnya menatap posisi di mana seharusnya ayahnya berada. Tapi, sosok laki-laki tinggi besar itu tidak terlihat di manapun.

“Quack!”

Yang ada sekarang adalah sosok seekor bebek. Iya, bebek. Helaian bulunya berwarna biru cerah, sewarna dengan warna rambutnya.

“Oyaji?” Ayahnya berubah menjadi bebek? Apa-apaan ini? “Oka-sann!” teriaknya ke arah rumah. Tidak peduli ini sudah malam dan Ricchan pasti sudah tidur. Sepasang mata coklatnya masih terpaku pada bebek biru itu.

“Ada apa, Rikkun?” tanya ibunya. Terdengar langkah-langkah mendekat.

Mengalihkan tatapannya sejenak untuk menatap ibunya yang baru saja muncul. “Oyaji.”

“Kenapa Oyaji?”

Detik itu juga, sosok besar itu sudah muncul kembali menghalangi pandangannya pada ibunya. Oyaji. Dia tahu, wajahnya pasti terlihat bingung setengah mati. Hal itu bisa dilihat dari reaksi laki-laki tinggi besar di hadapannya ini. Wajah itu seperti ingin tertawa. Puas sekali. Lengan-lengan besar itu sudah kembali menyergap tubuh mungilnya, merengkuh dengan mudahnya, dan memasukkannya kembali ke dalam perlindungan yang hangat.

“Siluman bebek?” tanyanya kaku.

Tatapannya beralih pada ibunya. Ingin melihat apa reaksinya. Ibunya seharusnya tahu darah siluman apa yang mengalir di tubuh suami dan putranya ini, kan? Tapi, tidak ada reaksi geli yang diharapkannya. Ibunya malah tampak terkejut.

“Bebek?” ucap ibunya lirih. Benar-benar tampak terkejut.

“Kenapa memangnya dengan bebek? Ada yang salah?”

Terlihat sekali ayahnya begitu menikmati permainan bebek ini. Tapi, dia tahu, amat sangat tahu, entah darimana kesadaran itu datang. Bukan darah siluman bebek yang mengalir dalam darahnya. Sama sekali bukan. Ayahnya cuma melakukan sihir konyolnya itu. Hanya untuk meredam rasa ingin tahunya. Tapi, bagaimana caranya menghentikan arus ingin tahu terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri? Entahlah, yang pasti tidak dengan sihir konyol seperti ini.

Memberontak minta dibebaskan dari pelukan ayahnya dengan kesal. Merasa teramat dipermainkan. Tapi, ayahnya sepertinya tidak berniat mengendurkan pelukannya sedikitpun. Ayahnya malah menatap wajahnya lekat-lekat. Entah mencari apa. Atau mungkin sedang menikmati betapa masamnya wajah putranya ini?

Dia sudah membuka mulutnya ingin bicara tapi melihat wajah ayahnya, dia malah mengurungkan niatnya. Tatapan heran pun tergambar di wajah ayahnya. Menghela nafasnya sejenak. “Kalau bebek, kenapa orang takut? Bebek tidak berbahaya, kan? Jangan mempermainkanku.”

Mengalihkan tatapannya dari wajah ayahnya yang terlihat jelas sedang memikirkan suatu alasan. Seharusnya, ayahnya tahu, dia bukanlah anak yang mudah diajak bercanda. Seharusnya, ayahnya tahu, kalau darah siluman yang mengalir dalam tubuhnya adalah suatu hal yang sensitif baginya. Tapi, sejak kapan ayahnya peka? Ibunya saja pernah mengeluh, betapa tidak pekanya lelaki tinggi besar itu.

Masih tidak ada jawaban yang dilontarkan ayahnya. Menggeliat minta dilepaskan lagi. Kali ini pelukan itu mengendur dan dia pun segera menyelinap lepas. “Oyasumi.” Dia pun menghilang masuk ke dalam kamarnya.

A Creature? - I

on Thursday, July 01, 2010
Tahu? Ketika dia kelas satu SD, dia sudah dikatai siluman. Katanya, rambut birunya adalah karena dia memiliki darah siluman. Karena itu, seakan diperintahkan secara tersirat, semua orang tua melarang anaknya bermain dengannya. Bukan cuma main. Tidak ada seorang anak pun yang diizinkan berkomunikasi dengannya. Entah itu hanya berkenalan atau bekerja dalam kelompok. Atau hanya sekadar duduk di sebelahnya. Lelah melihat meja anak-anak lain yang selalu digeser menjauhi mejanya, akhirnya dia memilih duduk di paling belakang. Dengan begitu, tidak ada yang perlu menghindarinya lagi, kan?

Tahu? Dia penasaran, darah siluman apa yang diwarisinya. Mengapa orang-orang itu begitu takut kalau dia sampai menyentuh anaknya? Ah, tidak. Bicara saja tidak boleh, apalagi menyentuh. Memangnya, darah siluman yang mengalir dalam tubuhnya adalah siluman pemakan manusia? Atau mungkin siluman yang wujudnya besar dengan moncong yang dipenuhi taring? Entahlah. Sebegitu berbahayanyakah darah siluman warisan ini?

Tahu? Ayahnya, biarpun sudah berkali-kali dia menanyakan hal ini, tidak pernah mengatakan sedikitpun tentang siluman apa yang mengalir dalam tubuh mereka berdua. Heran. Apa salahnya memberitahu putranya sendiri? Supaya setidaknya dia bisa mengerti alasan mengapa dia harus dikucilkan sedemikian rupa. Walaupun, dia sudah tidak peduli pada hal itu lagi. Memangnya siapa orang-orang itu? Mereka bukan siapa-siapa. Tidak ada pengaruh apapun untuknya kalau mereka tidak mau berkomunikasi dengannya.

“Oyaji.”

“Ya, Rikkun?”

Mereka sedang duduk di serambi panggung belakang rumah. Tubuh mungilnya terlindung oleh tubuh besar ayahnya dari tiupan angin malam yang dingin menusuk.

“Siluman apa?”

“Itu lagi?” Pelukan ayahnya mengetat. Digenggamnya jemari besar milik ayahnya. Tangannya kecil sekali dan amat sangat pucat jika dibandingkan dengan kulit coklat milik ayahnya. Ya, ini karena dia jarang membiarkan kulitnya disiram cahaya matahari. Lagipula, dia tidak berminat.

“Iya, itu lagi.”

“Mm, lihat bintang yang berkelip-kelip di sana? Itu Andromeda.”

Bintang, katanya. Dia yakin ayahnya cuma asal tunjuk dan asal sebut. Dan tahukah kau Oyaji, Andromeda itu nama galaksi bukan bintang. Terlihat jelas ayahnya cuma ingin mengalihkan perhatiannya. Tidak berminat menjawab pertanyaannya lagi, eh?

“Itu Polaris.” Setidaknya, jawaban asalnya masih merupakan nama bintang. “Siluman apa?”

Day Two - Dad (Chapter V) (End)

on Wednesday, June 30, 2010
Kepada keluarganya saja, dia hanya memberikan reaksi seadanya. Bukan seadanya, sebenarnya. Semampunya. Ya, Rikkun cuma seorang anak lima tahun ketika semua itu terjadi. Tak bisa dipungkiri, kalau peristiwa itu menorehkan trauma yang dalam. Sikap Rikkun sekarang sudah jauh lebih baik daripada dulu, saat dia baru keluar dari rumah sakit. Dia seakan merasa asing pada keluarganya sendiri. Pada adiknya yang berteriak-teriak minta gendong. Pada ibunya yang selalu memanggilnya dengan lemah lembut. Bahkan pada ayahnya, pada siapa anak itu paling banyak bercerita dulu.

Dia menghargai semua usaha Rikkun sampai saat ini. Anak itu berusaha keras untuk membaur dengan keluarganya. Ya, dia bisa merasakan hal itu. Anak itu mencoba menuruti permintaan Ricchan untuk bermain bersama dengan teman-temannya. Dia sadar, anak itu takut, kalau-kalau hal yang sama terjadi lagi. Tapi, dia toh mencobanya. Putranya itu juga mencoba lebih banyak berbincang-bincang dengan ibunya. Walaupun istrinya yang memang pada dasarnya cerewet itulah yang lebih sering bicara. Rikkun cuma mendengarkan sambil sesekali menimpali.

Dan pada ayahnya, Rikkun mencoba lebih jujur dalam menceritakan apa yang dirasakannya. Dia selalu menegaskan pada putranya itu, kalau tidak suka, bilang. Jangan pasrah. Memang sulit menerapkan hal itu di lingkungan sosialnya. Karena itu, dia memaksa putranya itu untuk berlaku seperti itu di rumah, pada keluarganya sendiri. Dia tidak ingin dibohongi anaknya sendiri. Ingin tahu apa saja yang terjadi pada anaknya. Ingin tahu, apa saja yang dirasakan anaknya.

Seperti alasan mengapa Rikkun tidak langsung pulang setelah dianiaya sembilan tahun yang lalu. Mungkin tidak akan separah itu akibatnya. Butuh waktu bagi putranya itu untuk jujur. Anak itu baru mau mengatakannya setelah suaranya benar-benar kembali normal. Katanya, dia takut dimarahi. Pulang cepat, seragam kotor, wajah berantakan, tenggorokan sakit. Kamisama. Bolehkah seorang ayah menangis menggantikan anak laki-lakinya yang entah sok kuat atau terlalu tabah atau mungkin terlalu apatis sampai tidak pernah menunjukkan air matanya pada keluarganya sendiri?

Oyaji?

Mm? Dia baru menyadari bahwa dia sedang duduk memeluk putranya di serambi belakang sambil melihat bintang. “Ya, Rikkun?”

Rikkun memberikan tatapan kesalnya karena semua ocehannya yang jarang terdengar itu, tidak ada satupun yang ditanggapi ayahnya. Tidur ah, Oyaji ngelamun, katanya sambil menyandarkan tubuh mungilnya pada tubuh besar ayahnya. Kelopak matanya pun menutup.

“Maaf.” Dikecupnya kening putranya dengan sayang. “Tidur di dalam, oke?” Digendongnya tubuh mungil itu. Seperti biasa, Rikkun tidak menolak malah merangkulkan lengannya ke leher ayahnya.

Day Two - Dad (Chapter IV)

on Saturday, June 26, 2010
Itu adalah kisah enam tahun yang lalu. Ketika putranya pertama kali ditindas oleh masyarakat dan harus berakhir di rumah sakit. Kesakitan untuk hanya sekadar bernapas. Kehilangan suara selama beberapa bulan. Fatal akibatnya untuk seorang anak-anak berusia lima tahun.

Dia masih ingat tatapan macam apa yang diberikan putranya ketika dia bersama istrinya dan Ricchan datang mengunjunginya. Tidak ada kebencian dalam bola mata coklat itu. Cuma ada kehampaan. Kosong. Dia menatap keluarganya sendiri seakan menatap orang asing. Istrinya sudah tidak tahan melihat darah dagingnya memberikan tatapan seperti itu. Hari pertama, kunjungan wanita itu ke rumah sakit, hari itu pula dia menangis tanpa henti di sisi tempat tidur Rikkun. Tapi, tak ada perubahan apapun pada tatapan Rikkun. Hampa.

Suaranya yang masih kekanak-kanakan pun hampir tak pernah terdengar lagi. Untuk meminta pertolongan seperti minta diantar ke kamar kecil atau untuk mandi, hanya dilakukannya dengan bahasa isyarat. Suara manisnya hanya terdengar ketika kesakitan yang tak tertahankan menyerangnya. Suara itupun tak lebih dari sekadar bisikan, lenguhan kesakitan.

Orang tua mana yang tahan menatap penderitaan anaknya? Sering kali, dia melihat putranya mencengkeram erat selimutnya, menahan sakit. Terpaksa bernafas lewat mulut walaupun itu hanya mengurangi sedikit dari rasa sakitnya. Kamisama.

Semua itu masih tergambar dengan jelas di otaknya. Teramat sangat jelas karena dia tak ingin melupakannya. Penderitaan putranya. Hanya karena beberapa orang seniornya benci melihat warna rambutnya yang teramat sangat berbeda. Tidak ada yang mengaku sampai sekarang, siapa saja yang melakukan hal itu pada putranya. Begitu juga dengan Rikkun, dia seperti tidak berminat pada senior-senior yang membuat pandangannya terhadap masyarakat berubah.

Apalagi ketika berita itu muncul, entah darimana. Berita bahwa rambut biru adalah lambang pewaris darah siluman. Entah siluman apa, tak ada yang tahu. Masyarakat hanya tahu, wujud siluman mereka adalah makhluk buas yang tak berperikemanusiaan. Hanya karena kisah yang tak jelas darimana asalnya itu, Rikkun benar-benar kehilangan semua masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan tawa keceriaan itu. Tidak ada satupun anak yang mau berteman dengannya. Hanya sekadar berkenalan, masih tak apa. Berteman? Mengobrol setiap saat? Bermain bersama? Tidak.

Rikkun sendiri sepertinya tidak terlalu peduli pada masyarakat yang mengucilkannya. Dia lebih memilih menenggelamkan dirinya dalam tumpukan bukunya. Tidak peduli bahwa penindasan padanya belum selesai. Tidak peduli ketika seragam sekolahnya dirobek dan dibuang. Tidak peduli ketika mejanya penuh dengan coretan ‘Mati’. Tidak peduli ketika serangga keluar dari loker sepatu atau mejanya. Tidak peduli ketika seember air kotor terguyur padanya. Putranya telah berubah menjadi seorang anti-sosial.

Day Two - Mother

on Monday, June 21, 2010
Kabar buruk selalu tiba sama cepatnya dengan kabar baik. Begitu juga dengan kabar buruk yang satu ini. Ditambah dengan sifat suaminya yang selalu menyampaikan berita denga kelugasan tanpa basa-basi atau sesuatu yang mampu membuat penasaran. Berita yang disampaikan melalui pesan suara itu rasanya mampu membuat jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. Putranya di rumah sakit sekarang. Sedang menjalani operasi, untuk mengeluarkan sesuatu yang mengganjal tenggorokannya. Kamisama.

Dia segera bersiap ke rumah sakit. Tidak peduli bahwa kaos yang dipakainya terbalik. Tidak peduli pada potongan-potongan wortel yang terhampar di meja, menunggu minta direbus. Ya, apa yang bisa dipedulikannya lagi? Tidak ada apapun yang mampu merasuk ke dalam otaknya lagi, selain putranya. Rikkun. Dan Ricchan, tentu saja. Digendongnya putrinya itu dan dia segera bergegas menuju rumah sakit.

* * *

Sudah dua jam berlalu sejak operasi untuk mengeluarkan kerikil di tenggorokan Rikkun selesai. Kesadaran Rikkun juga baru saja kembali. Seharusnya, semuanya akan kembali baik-baik saja. Masa kritis atau masa apapun sudah berhasil dilewati putranya. Seharusnya, dia akan mendapati tatapan kesal atau tatapan sinis Rikkun karena kedua orang tuanya tidak ada saat dia butuh bantuan. Seharusnya, suaminya akan mampu menertawakan Rikkun yang tak mampu bersuara. Keceriaan yang biasa. Tapi, tak ada satupun yang terjadi.

Semuanya harapannya seakan lenyap begitu saja ketika kesadaran telah kembali pada tubuh mungil itu. Tarikan napas yang pertama membuat jemari-jemari kecilnya mencengkeram kain selimutnya erat-erat. Kedua pelupuk matanya terpejam semakin erat, menahan rasa sakit yang muncul. Mulutnya membuka dan memaksa udara masuk, dengan hasil cengkeraman yang semakin erat. Belaian, genggaman tangan, dan kecupan sudah dicurahkan olehnya dan suaminya pada tubuh mungil itu. Berusaha keras mengurangi rasa sakit yang sedang diderita putranya.

Ketika akhirnya sepasang mata itu terbuka, tidak ada tatapan kesal atau bahagia atau sinis. Yang ada hanyalah kehampaan dan rasa sakit yang menyengat. Rikkun seakan tidak mengenali siapa saja yang ada di sekitarnya. Tidak ada senyum lemah atau reaksi apapun ketika melihat orang tuanya atau Ricchan. Tatapan itu seakan tak memiliki fokus atau menolak menemukan fokusnya.

Ingin rasanya menangis dan menjerit keras. Dadanya sakit. Ibu mana yang tahan melihat anaknya menjadi seperti ini? Rikkun yang pendiam tapi tatapannya selalu menyiratkan apa yang dirasakannya. Rikkun yang tersenyum dan tertawa ketika melihat tingkah konyol ayahnya. Rikkun yang suka kesal ketika dipermainkan ayahnya dan diributi adiknya.

Air matanya mulai mengalir dan tak bisa dihentikan lagi ketika kesadaran itu merasukinya begitu saja. Rikkun yang dulu telah lenyap tak berbekas. Tidak ada yang baik-baik saja. Walaupun suara kekanak-kanakan putranya akan kembali setelah beberapa bulan. Walaupun semua luka-luka di tubuhnya akan lenyap, Rikkun takkan pernah lagi sama. Karena peristiwa yang dialaminya tidak hanya melukai fisiknya tapi juga jiwanya, mentalnya.

Day Two - Doctor

on Saturday, June 12, 2010
Rutinitas yang biasa. Rumah sakit dan ruang praktek. Bau antiseptik. Perawat yang berteriak memanggil nama-nama. Pasien dengan wajah penuh pengharapan. Tidak ada yang berubah. Selalu. Karena memang itulah pekerjaannya, tugasnya, kewajibannya. Seorang dokter.

Tapi, selalu ada yang akan berbeda. Bumbu dalam rutinitas. Seperti hari ini. Masih rumah sakit yang sama. Aroma yang sama. Suara yang sama. Yang berbeda adalah tempat dan pasiennya.

Unit Gawat Darurat. Tempat di mana banyak manusia yang meregang nyawanya di sini. Kecepatan adalah yang utama di sini. Pasiennya kali ini, sepasang manusia dengan rambut biru. Seorang ayah dan anaknya. Unik. Hanya saja, si anak sedang dalam kondisi yang tidak baik. Pucat dan kotor. Air mata mengalir karena rasa sakit tak tertahankan.

Oksigen sudah diberikan tapi tak ada tanda-tanda membaik. Ada sesuatu yang mengganggu jalur pernapasan anak ini. Tapi, apa? CT-scan pun dilakukan, sementara itu, persiapan operasi dilakukan. Si ayah yang cemas telah diminta dengan sangat oleh perawatnya untuk menunggu di luar. Biarkan ahli medis yang bekerja.

Hasil CT-scan sudah keluar. Ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan anak ini. Bukan logam. Apa itu? Kerikil, mungkin? Oke, urusan mengapa bisa ada kerikil di laring anak ini, bisa dipikirkan nanti. Yang perlu dilakukan sekarang adalah mengeluarkan kerikil itu. Prosedur laringoskopi pun dilakukan.

* * *

“Dia sudah tak apa-apa. Hanya saja, tenggorokannya akan sakit walaupun hanya digunakan untuk bernafas. Rasa sakitnya akan semakin menjadi-jadi kalau digunakan untuk bicara. Butuh sekitar satu sampai dua bulan lagi untuk menyembuhkan lukanya.”

Ternyata, seunik apapun tampilan seorang manusia. Isinya tetap sama. Ekspresi shock yang biasa ditunjukkan oleh seorang ayah yang diberitahu kalau anaknya akan kesulitan untuk bernafas dan bicara selama satu atau dua bulan, juga muncul pada si ayah berambut biru. Ucapan terima kasih yang berkali-kali, seakan dia adalah seorang dewa penolong. Ekspresi sayang dan pedih yang muncul ketika dia membelai anaknya dengan lembut.

Itulah manusia. Jenis makhluk hidup yang harus dihadapinya setiap hari.

Day Two - Dad (Chapter III)

on Friday, June 11, 2010
Kamisama, di mana dia?

Rasanya, dia sudah mengelilingi hampir seluruh bagian kota Wakkanai. Tidak mungkin putranya itu ada di luar kota. Pikiran itu pun langsung merasuk ke otaknya begitu saja, tanpa bisa dicegah. Mungkin. Penculikan anak-anak sudah biasa terjadi, kan? Untuk diperdagangkan. Apalagi rambut Rikkun unik. Mungkinkah—

Hentikan semua pikiran buruk itu. Rikkun pasti baik-baik saja. Tapi, sedari tadi dia sudah bertanya pada siapapun yang ditemuinya. Tapi, tak ada yang mengaku telah melihatnya. Bukankah rambut sewarna langit itu adalah hal yang cukup mencolok? Bagaimana mungkin tidak ada yang melihat? Dia juga sudah berteriak-teriak memanggil putranya sampai suaranya serak. Tapi, Rikkun tak kunjung terlihat ataupun membalas panggilannya. Kamisama.

Apakah Kau mengabulkan doaku, Kamisama?

Ketika dia menoleh, dia mendapati sosok seorang anak dengan warna rambut yang sama dengannya. Hanya saja, seragam putih bersih yang seharusnya dipakai putranya tadi pagi, sekarang sudah lenyap. Seragam itu sudah penuh noda. Warna rambutnya pun seakan dihiasi noda-noda yang amat tidak sesuai dengan birunya.

“Rikkun!”

Anak itu menoleh. Tapi, tidak ada reaksi apapun yang ditunjukkannya. Segera dia berlari dan mendapati putranya tersayang. Terkejut setengah mati mendapati wajah pucatnya yang dipenuhi luka. Seragamnya yang bukan saja dinodai oleh coklatnya tanah tapi juga bercak-bercak merah—darah? Dan tatapan apa itu? Hampa. Juga, tak ada suara apapun yang keluar dari bibir mungil yang sudah dihiasi luka. Kamisama.

Dipeluknya putranya erat-erat. Sama sekali tidak menyadari ada seorang gadis yang sedari tadi menatap mereka berdua dengan tatapan heran, seakan bertanya, apa yang terjadi sebenarnya?

“Kita pulang, yuk, Ri—“

Uhuk. Uhuk! Ohok! OHOK!

Awalnya cuma batuk-batuk kecil. Dibelainya punggung putranya dengan lembut, berusaha menenangkan. Tapi, frekuensi batuk itu sama sekali tidak berkurang. Lama kelamaan semakin menjadi-jadi. Dan bercak merah itu menyembur begitu saja dari mulut putranya.

“Rikkun? Hei—“

Wajahnya sudah pucat, terlalu pucat malah. Ekspresi kesakitan terlihat jelas di sana. Nafasnya pun tersengal-sengal. Digendongnya putranya segera. Berlari menuju rumah sakit. Apa yang terjadi? Kamisama. Dia baru lima tahun. Apa yang sedang kau rencanakan pada tubuh mungil ini, Kamisama? Cobaan seberat apa yang Kau berikan, Kamisama?

Day Two - Gardener (Chapter II)

on Sunday, June 06, 2010
Astaga, sekali lihat saja dia tahu, ini penindasan. Apalagi ketika tubuh kecil itu dijatuhkan ke tanah. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan pun melayang ke tubuhnya. Hei, hei. Masih pagi kok sudah menindas orang. Ckck.

Ingin menolong si rambut biru? Jelas. Tidak lihat dia sudah melangkah maju mendekati gerombolan itu? Lagipula badannya lebih besar. Masa takut sama anak SMP? Malu! Anak-anak itu paling digertak sekali sudah kabur. Hajar sekali dua kali juga tak masalah. Anak nakal memang perlu diberi pelajaran, kan?

“HOI!! Pagi-pagi sudah memukuli orang! Tidak malu pada matahari?!”

Apa hubungannya dengan matahari? Matahari muncul subuh-subuh bukan untuk melihat orang dipukuli atau memukuli, kan? Yah, tidak terlalu ada hubungannya memang. Anggap saja hanya gertakan kecil sebagai penyambut pahlawan pembela kebenaran ini. Huahahaha.

Keempat orang itu menoleh menatapnya. Sedangkan si rambut biru, tubuhnya melengkung di tanah. Kesakitan, sepertinya. Dia melangkah maju dengan langkah tegap dan dengan postur mengancam. Anak berandalan begini, diancam sedikit pasti sudah takut.

Benar, kan? Lihat saja, anak-anak SMP itu mundur selangkah dua langkah sebelum akhirnya berlari pergi, dengan makian-makian di mulut, tentunya. Didekatinya si rambut biru. Wajahnya terlihat mengkerut kesakitan. Ada beberapa bercak darah di wajah yang sudah penuh dinodai debu-debu tanah. Bajunya, kotor semua, jelas.

“Kau tak apa-apa?”

Pertanyaan bodoh. Mana ada anak SD yang setelah dipukul dan ditendang seperti tadi, akan baik-baik saja? Tubuh mereka kan masih lemah. Masih dalam tahap pertumbuhan. Dan dia benar-benar menyesal telah menanyakan pertanyaan bodoh itu.

Anak itu menggeleng, seakan berkata tak apa-apa. Ck, tidak perlu menguasai kemampuan membaca pikiran atau menyandang gelar dokter hanya untuk tahu, bahwa anak ini terluka dan mungkin cukup parah. Tapi, lihat, anak itu bangkit perlahan. Mengambil tasnya dan melangkah menuju gerbang sekolah.

Tanpa ucapan terima kasih sedikitpun pada penolongnya, eh? Bukannya dia gila ucapan tapi setidaknya, berterimakasih termasuk sopan santun, kan? Anggukan atau bungkukkan tidak dia tolak kok. Apa anak itu tidak diajarkan bagaimana bertutur kata dan bersikap yang baik dalam lingkungan masyarakat? Apa yang diajarkan sekolah ini sebenarnya? Atau mungkin, apa yang diajarkan orang tua anak itu?

Ck, sudahlah. Anggap saja dia sedang beramal. Lagipula ini masih pagi. Hari masih panjang. Satu peristiwa kecil yang tidak menyenangkan tidak perlu merusak seluruh harinya, kan?

Day Two - Gardener (Chapter I)

on Friday, June 04, 2010
Pagi yang cerah. Benar-benar cuaca yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu di kebun. Oh, oke, itu bukanlah pilihan tapi kewajiban. Pekerjannya sebagai tukang kebun, bagaimanapun cuacanya, dia harus menghabiskan waktunya di kebun. Tapi, cuaca yang cerah akan menambah semangatnya, jelas.

Oh, jangan dikira dia bekerja di kebun milik seorang miliuner atau bangsawan. Tidak, tentu saja. Lagipula ini memang masih di negara Jepang tapi Jepang itu luas, kau tahu? Dan kebun tempatnya bekerja terletak di perfektur paling utara di Jepang. Perfektur Soya, paling utara di Hokkaido, kalau geografimu jelek. Kebun yang menjadi tanggung jawabnya terletak di sebuah sekolah di kota Wakkanai. Oke, hentikan bicara soal geografi, karena geografinya juga jelek. Dia lebih tertarik pada biologi bagian tumbuhan, tentu saja.

Sekolah tempatnya bekerja bisa dibilang sama seperti rata-rata sekolah lainnya yang sering digambarkan di komik-komik. Bangunan lebar dengan halaman yang teramat sangat luas di depannya. Gedung sekolah ini memang sudah tua. Jadi, jangan berharap ada desain modern di sini.

Kebun yang harus diurusnya ada di belakang gedung itu. Di sampingnya, ada taman bermain untuk murid-murid sekolah. Cuma untuk murid SD kelas-kelas awal, yang badannya masih kecil, tentunya. Anak SMP apalagi SMA tidak perlu main-main dengan luncuran atau ayunan atau bola panjat, kan? Yang ada, badan-badan besar mereka akan tersangkut pada alat-alat permainan yang khusus dibuat untuk anak-anak itu.

Jadi, pagi itu dia sedang melakukan kegiatan rutinnya yaitu menyapu dedaunan kering yang terhampar di tanah. Tapi, pagi itu, kegiatan rutin itu menjadi tidak biasa ketika dia mendengar teriakan yang terdengar sangat kasar. Kalau tidak salah, berarti benar, arahnya dari taman bermain.

Penasaran? Jelas. Teriakan kasarnya memang cuma sekali. Tapi, setelah itu, kata-kata hinaan yang diucapkan dengan intonasi menyakitkan meluncur dengan volume yang cukup keras. Siapa yang tidak sakit telinga mendengar kalimat-kalimat brengsek seperti itu. Lagipula, ini sekolah, tempat di mana manusia dididik untuk menjadi seseorang yang terpelajar baik tingkah lakunya maupun otaknya. Kalimat-kalimat yang sampai sekarang masih mengudara ini benar-benar tidak pantas didengar di lingkungan sekolah!

Dia pun meninggalkan pekerjaannya sejenak dan mengintip taman bermain itu. Empat orang anak laki-laki yang badannya cukup besar. Mungkin anak SMP. Lalu, seorang anak yang badannya jauh lebih kecil dengan rambut yang, mm, biru. Anak SD mungkin. Keempat orang itu mengelilingi si rambut biru. Mendorong-dorong si rambut biru, dengan tenaga yang tidak ditahan sampai tubuh kecil itu cuma bisa mengikuti arah dorongan-dorongan itu. Caci maki pun terus terlontar.

Day Two - A Little Girl (Chapter III)

on Thursday, June 03, 2010
Berlari secepat dia bisa menuju kembali ke kelas. Sensei pasti mau membantu! Pasti! Riki-kun memang nakal karena bawa-bawa binatang-binatang jelek itu. Tapi, kan harusnya sensei yang marahin. Kok malah orang-orang seram itu, sih!

“Sensei! Ada yang mukulin Riki-kun!”

Sensei kelihatan kaget karena tiba-tiba dia membuka pintu dan berteriak keras, tidak peduli pada teman-teman barunya. Sensei segera bertanya, di mana?

“Di tempat main!”

Sensei meminta teman-teman sekelasnya tenang dan duduk diam. Lalu, sensei segera mengikutinya ke taman bermain sekolah. Cemas. Riki-kun baik-baik saja, kan? Biarpun Riki-kun nakal, tapi tetap mau kenalan kok. Tetap mau jadi teman Riki-kun, asal Riki-kun ga nakal lagi. Ga bawa-bawa binatang jelek lagi! Jadi, Riki-kun tunggu sensei, ya. Sensei pasti marahin orang-orang seram itu.

Mereka sudah sampai di taman bermain yang tadi ditinggalkannya. Kosong. Eh? Ke mana Riki-kun dan orang-orang seram itu? Kenapa ga ada siapa pun di tempat main? Senseinya lagi-lagi tanya, di mana?

“Ga tau! Tadi Riki-kun di sini kok! Dipukuli orang-orang seram! Kok ga ada sih?”

Menoleh ke kanan, kiri, belakang, ke mana saja. Tidak ada siapa-siapa. Sepi. Kosong. Riki-kun di mana sih? Sudah dipanggilin sensei, nih! Masa kabur lagi! Padahal sudah capek juga teriak-teriak panggil Riki-kun. Kalau mau main petak umpet, jangan sekarang, Riki-kun!

Sensei menepuk kepalanya pelan. Katanya, nanti biar sensei yang lain yang cari Riki-kun. Katanya, sekarang waktunya belajar. Jadi, lebih baik mereka masuk kelas sekarang. Cuma bisa mengangguk dan mengikuti senseinya. Riki-kun pakai kabur sih! Ga mau temenan ah sama Riki-kun! Nakal! Sudah sukanya bawa-bawa kodok dan binatang-binatang jelek, sukanya kabur lagi! Ga tahu apa, sudah capek-capek lari, buat panggilin sensei! Cuma buat nolongin Riki-kun, tahu!

Day Two - Dad (Chapter II)

on Tuesday, June 01, 2010
Ngomong-ngomong, cerahnya langit hari ini sudah menyerupai warna rambutnya. Warna yang indah sekaligus menyedihkan, menurutnya. Dia cuma bisa berharap nasib yang menimpanya dulu, takkan terulang pada Rikkun. Dikucilkan oleh masyarakat. Lagipula, dibandingkan dengan zamannya dulu yang tradisi dan budayanya masih teramat kental, zaman sekarang warna rambut yang tidak hitam, sudah mulai bisa ditolerir. Walaupun rata-rata warna yang masih bisa ditolerir adalah pirang atau coklat atau merah. Biru masih bukanlah warna yang lazim. Oke, sebenarnya, bukan warna biru penyebabnya dikucilkan. Darah silumanlah penyebabnya. Masyarakat takut entah pada apa.

Seharusnya, sekolah hari kedua akan berakhir pada pukul 12 siang. Tidak terlalu siang karena ini masih hari kedua dan mereka toh masih anak-anak berusia lima sampa enam tahun. Sekolah saja pasti lebih banyak main-mainnya. Kalau lama-lama, kasihan juga gurunya mengurus puluhan anak kecil yang biasanya hiperaktif.

Sebagai ayah yang baik, tentu saja dia pergi menjemput putranya itu. Dia malah sudah datang sebelum jam 12. Sama sekali tidak ingin membuat putranya itu menunggu. Tidak sabar menanti cerita yang pastinya amat singkat meluncur dari bibir putranya. Sudah mendapat temankah putranya? Atau mungkin, sudah ada anak perempuan yang mengajak putranya kenalan? Biasanya anak perempuan suka yang lucu-lucu, kan? Dan rambut biru sewarna langit pasti termasuk lucu!

Tapi, kenyataan berkata lain. Seakan nasib tak ingin berpihak padanya sedikitpun. Putranya, yang memiliki warna rambut sama dengannya, tidak terlihat di manapun. Dia sudah berkeliling ke seluruh sekolah, bahkan kamar mandi, tapi hasilnya nihil. Anak itu tidak terlihat sama sekali. Guru-guru atau orang tua murid atau murid-murid yang ditemuinya pun tidak ada yang memberikan informasi yang berarti.

Kamisama, ke mana anak itu? Anak yang patuh itu. Tidak mungkin dia pulang sendiri. Tadi pagi saat dia melepaskan putranya itu untuk memasuki gedung sekolah, dia sudah berjanji akan menjemput saat pulang sekolah. Tolong jaga anak itu, Kamisama. Jangan sampai ada sesuatu yang buruk menimpanya. Tidak, jangan anak itu.

Dia takut, apa yang dialaminya dulu akan terulang lagi. Bagaimana kalau anak yang pendiam itu ditindas oleh seniornya? Ah, mampukah anak itu bertahan? Mampukah mentalnya bertahan? Rikkun tidak punya keceriaan yang biasanya dibutuhkan untuk bertahan. Tidak, dia sendiri bahkan tidak tahu apa yang ada di pikiran putranya itu. Kamisama, lindungi Rikkun, tolong.

Day Two - Dad (Chapter I)

on Monday, May 31, 2010
Hari ini adalah hari kedua dia harus melepaskan putranya itu ke pengawasan orang lain. Hari kedua putranya memasuki lingkungan masyarakat. Kemarin, hari pertama, semuanya baik-baik saja. Putranya memang tidak bercerita banyak, selalu. Tapi, setidaknya dia tahu, hari pertamanya baik-baik saja. Akankah hal yang sama terjadi pada hari kedua? Tidakkah teman-temannya akan mulai heran melihat warna rambut yang teamat sangat berbeda itu? Bisakah teman-temannya menerima putranya? Cih, mengapa semua pikiran negatif ini menyerbu otaknya secara bertubi-tubi begini.

“Akankah kau baik-baik saja, hei, Rikkun?”

Hei, Rikkun akan baik-baik saja! Sini kau, jaga Ricchan selagi aku cuci baju!

Itu istrinya yang baru saja memanggilnya. Wanita yang masih terlihat sama cantiknya seperti pada saat dia melamar gadis itu. Seorang gadis yang tidak peduli pada keunikan warna rambutnya. Tidak peduli bahwa ada darah siluman yang mengalir dalam dirinya. Yah, rata-rata, wanita yang tertarik pada keunikan warna rambutnya, akan mundur ketika tahu bahwa dia adalah siluman. Cih, dia memang punya darah siluman tapi bukan berarti dia seorang manusia jadi-jadian, kan? Dia toh tidak makan manusia. Kenapa gadis-gadis cantik itu takut?

Lalu, Ricchan, putrinya. Usianya lebih muda dua tahun dari Rikkun. Warna rambut anak perempuan ini hitam seperti ibunya. Tentu saja, darah silumannya hanya diturunkan pada anak lelaki. Berbeda dengan Rikkun yang sejak kecil sudah tidak usil, tidak suka lari kesana kemari ketika sudah bisa berjalan—sampai-sampai dia mencemaskan perkembangan kakinya, jarang menangis pula. Ricchan adalah kebalikannya. Sekali saja anak itu lepas dari pengawasan orang tuanya, entah sudah berada di mana anak itu. Tidak bisa diam. Kalau jatuh, langsung menangis keras-keras. Tipikal anak kecil.

Dan Rikkun, putranya. Kepada anak sulungnya inilah, darah silumannya diwariskan. Warna rambut anak itu sama sepertinya. Anak ini sejak kecil, sudah menunjukkan kepatuhan yang luar biasa pada kedua orang tuanya. Kalau dilarang melakukan sesuatu, dia tidak akan melakukannya. Kalau disuruh duduk diam karena orang tuanya sedang sibuk mengurus Ricchan, dia akan duduk dengan tenang sambil mengamati kedua orang tuanya dan adiknya. Mungkin yang tidak dipatuhi Rikkun cuma satu. Anak itu tidak berminat ketika disuruh pergi main dengan anak-anak tetangga. Apalagi sejak dia bisa membaca dan sebuah buku berisikan kisah anak-anak lengkap dengan ilustrasinya diberikan sebagai hadiah ulang tahunnya. Sejak saat itu, anak itu seperti keranjingan membaca. Kanji-kanji sederhana yang muncul pada buku-buku itu pun mampu diingatnya dengan cepat.

Day Two - Librarian (Chapter IV)

on Sunday, May 30, 2010
Anak itu menatapnya selama sejenak lalu memberikan gelengan kecil. Lalu, wajahnya kembali tunduk menatap buku yang berada di pangkuannya. Ck. Seharusnya, dia tinggalkan saja anak ini. Kenapa juga dia peduli? Toh, anak ini juga tidak mempedulikannya. Hmph, mungkin karena luka-luka di tubuh kecil itu, menerbitkan rasa kasihannya. Beberapa kali anak itu terbatuk pelan. Sakit? Ck, membuat rasa ibanya makin besar saja.

“Di mana rumahmu?”

Oke, lupa. Digoyangkannya tangannya kembali menghalangi buku yang dipangku anak itu. Anak itu kembali menatapnya. Tidak terlihat kesal. Datar, malah. Tanpa menjawab apa-apa, anak itu kembali menundukkan wajahnya. What?! Kurang ajar sekali anak ini. Tinggalkan sajalah. Anak tidak tahu sopan santun begini.

Dia pun beranjak pergi dengan kesal. Segera dia menghampiri rak favoritnya yang berisi novel-novel dengan kisah yang beragam. Dari yang romantis, fantasi, petualangan, dengan akhir yang bahagia maupun tidak. Butuh waktu setengah jam untuk memilih yang belum dibacanya dan yang menarik, tentu saja. Setelah menentukan pilihan, dibawanya dua buah buku pilihannya itu pada rekan kerjanya yang sedan bertugas menjadi resepsionis.

Seraya menunggu kode dari kedua buku itu dicatat, dilayangkannya tatapannya pada rak-rak yang berdiri kokoh. Hei, si rambut biru akhirnya beranjak!, serunya dalam hati ketika melihat anak itu melangkah keluar dari deretan-deretan rak. Si kecil itu melangkah melewatinya begitu saja dan berhenti di depan rak penyimpanan tas. Mengambil tasnya lalu beranjak keluar.

Silakan, bukumu. Otsukare.

“Ah, ya. Arigatou. Otsukare.”

Cepat-cepat dimasukkannya kedua buku itu ke dalam tasnya. Entah mengapa, dia tidak ingin kehilangan sosok kecil berambut biru itu. Mungkin rasa penasaranlah yang menggerakkannya.

Day Two - Librarian (Chapter III)

on Saturday, May 29, 2010
Penasaran, didekatinya anak itu. Diperhatikannya buku yang sedang dibaca itu. Wishing Chair Series. Enid Blyton, mm? Sepertinya, anak ini tahu mana buku yang bagus dan mana yang tidak. Mm, kalau dilihat dengan seksama, rambut birunya bagus juga. Sewarna langit cerah. Membuat yang melihatnya jadi merasa tenang. Kalau iris matanya juga biru, pasti anak ini terlihat manis, deh. Sayangnya, tidak. Ngomong-ngomong, anak ini sama sekali tidak terganggu dilihat dengan seksama seperti ini ya? Sebegitu tenggelamnya dalam prosa Enid Blyton?

Mengganggu pengunjung bukan salah satu pekerjaannya. Karena itu, dia memutuskan membiarkan anak itu menikmati imajinasinya. Lagipula, tidak ada tanda-tanda adanya perusakan buku. Jadi, tak masalah, kan? Biarpun noda-noda di wajah dan pakaiannya, mungkin akan meninggalkan bekas di lantai. Selama tidak menodai buku-buku yang ada, itu bukan masalah besar.

* * *

Pukul tiga sore, saatnya dia menyelesaikan semua pekerjaannya hari itu. Waktu pulang, tentu saja. Tapi, jangan dikira kalau perpustakaan ini juga ikut tutup. Cuma shift bekerjanya yang selesai. Perpustakaan ini buka sampai malam, tepatnya pukul 23.00. Ini dikarenakan obsesi si pemilik sekarang, yang merupakan cucu pendiri perpustakaan ini, ingin memberikan layanan pengetahuan hampir 24 jam. Sayangnya, hal itu cukup mustahil dilakukan. Tidak ada yang mau berjaga dari pukul 23.00 sampai 07.00.

Hal itu bukannya tanpa alasan. Perpustakaan ini sudah pernah buka 24 jam. Hanya saja, para pustakawan yang pernah mengambil shift subuh, tidak ada yang bertahan lebih dari satu minggu. Tentu saja, perpustakaan itu sudah kuno. Siapa yang tahan sendirian didampingi kebisuan buku-buku. Apalagi, kalau ada sesuatu yang muncul, yang katanya memang ada.

Oke, lupakan masalah itu. Semua pekerjaannya sudah selesai. Sebelum pulang, dia memutuskan untuk meminjam beberapa buku terlebih dahulu. Novel seperti biasa. Nah, entah mengapa, langkahnya menuntunnya pada posisi si anak rambut biru tadi. Padahal buku-buku yang ada di posisi anak itu berisikan kisah anak-anak. Anak itu masih duduk diam dengan posisi yang sepertinya sama seperti tadi. Kalau pun beda, pasti cuma beberapa senti. Tahan sekali tidak bergerak seperti itu.

“Tidak pulang?”

Day Two - Librarian (Chapter II)

on Friday, May 28, 2010
Diurungkannya niat mendekati anak itu dan menanyakan bagaimana kondisinya. Perpustakaan tempatnya bekerja ini memang cukup sering didatangi orang-orang tak bermoral. Dia pernah bertemu yakuza, perampok, pembunuh, dan, ah, entah siapa lagi. Untungnya, para penghuni dunia hitam yang datang kemari adalah pecinta buku. Selama ini, dia jarang menemui buku yang rusak. Ada yang rusak pun, selalu ada yang bersedia menggantinya dengan yang baru. Jadi, mungkin saja anak itu adalah anggota baru yakuza? Bisa saja, anak sekecil itu adalah seorang ahli dalam bela diri? Ah, intinya, lebih baik tidak macam-macam.

Terserah kalau pustakawati ini mau dikatakan tidak manusiawi. Itu semua karena dia sedang terfokus membaca novelnya dan belum ingin diganggu oleh hal-hal aneh seperti anak laki-laki berambut biru dengan memar di wajahnya.

* * *

Sekarang, tangan sang waktu sudah hampir menuju angka dua belas. Sebentar lagi, waktunya makan siang. Novel si pustakawati pun sudah selesai dibaca. Seorang pustakawan yang akan menempati posisinya sebagai resepsionis perpustakaan juga sudah datang. Pekerjaan dia sekarang adalah masuk ke perpustakaan dan mengatur buku-buku yang ada di sana. Memulangkan buku-buku yang diambil tanpa dikembalikan ke raknya. Ya, itu pekerjaannya nanti setelah makan siang. Jadi, mari makan siang terlebih dahulu! Perutnya sudah keroncongan minta diisi sesuatu.

* * *

Kembali ke perpustakaan tercintanya. Sudah cukup duduk selama empat jam sebagai resepsionis. Saatnya, berkelana di deretan rak buku-buku. Mengamati para pengunjung perpustakaan tua ini. Memberi peringatan kalau ada yang berniat melukai buku-buku indah ini.

Mungkin harus diceritakan sedikit tentang perpustakaan ini. Perpustakaan ini sudah berdiri sejak tahun 1923. Didirikan oleh seorang pria yang amat mencintai buku-bukunya. Dia begitu mencintai anak-anaknya, begitulah dia menyebut buku-bukunya, sampai dia tidak rela kalau semua buku itu hancur dimakan bakteri-bakteri pengurai, ketika dia tidak bisa lagi bersama mereka. Karena alasan itulah, dia mendirikan perpustakaan ini agar anak-anaknya bisa dirawat dan bisa difungsikan semaksimal mungkin.

Koleksi yang dimiliki perpustakaan ini cukup lengkap. Kitab-kitab kuno dari abad ke-18 pun ada. Rata-rata merupakan warisan dari sang pendiri. Kitab-kitab tersebut dirawat secara khusus di perpustakaan ini. Surga buku ini juga sempat mengalami pemugaran untuk menaikkan kualitas penyimpanan dan memudahkan pengunjung untuk menikmati buku-buku yang ada.

Kembali pada masa sekarang. Perpustakaan tempatnya bekerja. Dia sedang memulangkan buku-buku kembali ke dalam raknya ketika dia sepasang matanya menangkap sosok pengunjung pertamanya. Anak itu duduk di lantai, di sudut sebuah rak letter L. Anak itu membaca buku, tentu saja. Wajahnya yang dipenuhi memar itu tampak serius membaca.

Day Two - Librarian (Chapter I)

on Thursday, May 27, 2010
I’m back my library!

Bukan perpustakaan miliknya memang. Setidaknya, dia mendapat upah untuk menjaga buku-buku yang ada di perpustakaan ini. Perpustakaan ini sudah serasa rumah keduanya. Sejak lulus kuliah, dia sudah tidak berminat melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang lebih berhubungan dengan jurusannya. Dia cuma tertarik untuk bekerja di perpustakaan, tempat ratusan bahkan ribuan atau mungkin ratusan ribu buku terkumpul.

Dimasukkannya kertas absen pada alat pengabsen otomatis itu. Pagi-pagi begini, tempat ini selalu sepi. Tentu saja, ini kan saat di mana semua orang baru saja memulai harinya, entah bekerja atau menuntut ilmu. Biasanya, yang datang pagi-pagi kemari, adalah peneliti atau para pengangguran, yang sebenarnya memiliki suatu jenis pekerjaan yang lebih baik tidak dieskpos.

Seperti biasa, dia duduk menunggu pengunjung sambil membaca buku. Dia memang lebih menyukai fiksi-fiksi yang bertebaran di rak sisi kanan daripada sudut belakang perpustakaan. Isinya tentang sejarah, sains, dan entah tentang apalagi. Berat yang pasti. Butuh berkali-kali dibaca baru bisa dimengerti. Ya, kegemarannya membaca memang lebih terpusat pada kisah-kisah fiksi yang dibuat oleh para pengarangnya.

* * *

Tangan pendek sang waktu baru mendekati angka sembilan ketika pengunjung pertama datang. Anak-anak. Laki-laki. Rambut biru? Pengunjung pertamanya itu melenggang masuk begitu saja. Tidak mengindahkan dirinya, buku tamunya, dan rak penyimpanan tas.

“Hei, Nak.”

Langkah anak itu terhenti segera lalu diam di tempat. Tidak ada tolehan untuk memperlihatkan wajahnya pada si pemanggilnya. Sopan sekali.

“Isi buku tamu dan letakkan tasmu di rak. Bisa?”

Akhirnya, anak itu berbalik dengan wajah tertunduk. Mengisi buku tamu dengan tulisan yang tidak terlalu rapi. Ditatapnya wajah anak itu. Percuma menunduk, anak kecil. Wajahmu terlihat jelas dari sini. Tertegun sejenak ketika kejelasan wajah kurus itu merasuki pemahamannya. Memar di mana-mana dan sedikit darah di ujung bibir dan alis. Belum sempat dia bereaksi pada wajah itu, anak itu sudah beranjak mendekati rak penyimpanan tas di mana dia meletakkan tasnya dengan buru-buru. Setelah itu, dia segera melangkah cepat memasuki perpustakaan.

Ah, memar apa itu? Dilihat dari tubuhnya yang pendek, kecil, dan kurus, sepertinya anak itu masih seorang pelajar tingkat dasar. Kelas satu atau dua, mungkin. Rambutnya aneh. Jarang atau hampir tidak pernah sebenarnya, dia menemui seorang anak-anak dengan rambut dicat. Orang tua biasanya tidak akan mengizinkan. Nah, kalau rambut anak sekecil ini sudah dicat, mungkin saja dia bukan anak baik-baik. Lagipula, ada memar di wajahnya. Seragam yang dipakainya juga tidak lagi bersih. Noda tanah dan darah tersebar di mana-mana. Padahal masih sepagi ini.

Day Two - A Little Girl (Chapter II)

on Wednesday, May 26, 2010
Jeritan apalagi itu?

Ibu guru menanyakan pada anak perempuan yang berteriak. Ada apa? Tapi, anak itu cuma menunjuk. Meja Riki-kun. Kodok-kodok kembali berlompatan di kelas. Serangga-serangga keluar dari laci meja. Kok hari ini banyak sekali binatang, sih? Dan kenapa semuanya muncul dari Riki-kun? Itu semua teman-temannya, ya? Memangnya ada yang suka kodok, lipan, jangkrik? Nggak ada! Ihhh, Riki-kun kok jahat gitu sih. Bawa-bawa binatang ke sekolah. Lihat saja, teman-temannya sudah lari-lari, loncat-loncat, menghindar ke sana kemari. Tapi, Riki-kun cuma diam saja! Ihhhh! Kesallll!

Hei, Riki-kun mau ke mana? Kok dia keluar kelas? Bawa tas lagi! Mau kabur, ya? Dikejarnya lagi teman berambut birunya itu. Riki-kun kok lari, sih? Kan jadi capek ngejarnya! Riki-kun baru berhenti di taman bermain sekolah. Nggak ada orang di situ. Sepi. Marahin Riki-kun, ah!

HEI!

Belum sempat berteriak memanggil, sudah ada yang berteriak lebih dulu. Menoleh dan mendapati segerombolan dengan tubuh yang jauh lebih besar, tinggi, dan mukanya seram! Eh, ngumpet dulu. Kenapa mereka mendekati Riki-kun! Dan kenapa Riki-kun cuma diam saja? Bagaimana kalau orang-orang seram itu mau melakukan sesuatu yang jahat?

BRAKK!

Tuh kan, tuh kannnn! Belum apa-apa, Riki-kun sudah dijatuhkan begitu! Ahhhh, gimana ini!! Takut. Tapi, tidak ada siapapun di sini. Da—dan suara-suara pukulan sudah mulai terdengar dari tempat Riki-kun. Orang-orang seram itu memukuli Riki! Memangnya Riki-kun salah apa? Masa gara-gara binatang-binatang itu?

Takut. Takut. Takut. Perlahan kakinya melangkah mundur. Nggak tahan lihat Riki-kun dipukuli. Nggak tahan mendengar jerit kesakitan Riki-kun. Riki-kun juga tidak membalas. Otou-san, takut. Berikutnya, dia sudah berlari menjauh. Panggil bu guru! Bu guru pasti mau menolong Riki-kun biarpun Riki-kun sudah nakal. Pasti!

Day Two - A Little Girl (Chapter I)

on Tuesday, May 25, 2010
Hari pertama masuk sekolah. Senang? Tentu saja! Siapa yang tidak senang waktu pertama kali masuk sekolah? Bisa ketemu teman-teman baru, guru-guru yang baik. Di sekolah juga ada taman bermainnya. Tidak sabar, nihhh!

Ketika datang dengan diantar Otou-san, kelas sudah dipenuhi oleh banyak—banyak sekali orangnya! Whoaaa! Tidak sabar untuk segera mengenal dan bermain dengan mereka semua. Tapi, ada satu anak yang langsung menarik perhatiannya.

"Otou-san, rambutnya biru!" teriaknya heboh.

Otou-san cuma menanggapi kehebohannya dengan senyum disertai pesan, baik-baik di sekolah, ya. Menggangguk dengan penuh semangat dan berlari menuju kelasnya.

Sekolah diawali dengan perkenalan oleh guru lalu semua anak di kelas mengikuti. Si rambut birulah, yang paling dia tunggu-tunggu namanya. Riki Cheresute Mikagami. Namanya panjanggggg. Terus nama tengahnya juga anehhhh. Seaneh warna rambutnya yang mencolok sekali diantara rambut-rambut hitam!

* * *

Hari kedua. Hari ini dia ingin berkenalan secara resmi dengan Riki-kun. Kemarin kan mereka cuma masuk bentar. Jadi, belum sempat berkenalan, lagipula Riki-kun sudah dijemput oleh ayahnya yang rambutnya juga biru! Wahhh, kerennn! Nah, hari ini baru sekolah benar-benar dimulai, begitu kata ibu gurunya kemarin.

Dia baru saja meletakkan sepatunya di rak sepatu yang sudah disediakan ketika pekikan dan jeritan terdengar. Ada apa? Tepat ketika dia menoleh, dia melihat seekor kodok loncat ke arahnya. Segera dia menjerit histeris. Benci kodokkk!! Hijau-hijau, jelek, bunyinya ga enak pula!

Ketika akhirnya dia sadar bahwa si kodok sudah pergi, ditatapnya sekelilingnya. Ada apa sih sebenarnya? Eh, itu Riki-kun! Tapi, dia cuma mematung terdiam, menatap rak sepatunya. Beberapa serangga terlihat keluar dari rak sepatu itu. Dari situkah kodok tadi muncul? Didekatinya Riki-kun dengan takut-takut. Bagaimana kalau tiba-tiba ada binatang lain yang keluar? Bagaimana kalau ada ular?

Tapi, belum sempat dia mendekat, Riki-kun sudah bergerak. Dia menutup rak sepatunya dan melangkah menuju kelasnya. Tidak peduli pada anak-anak lain yang sedang melihatnya. Bingung. Dikejarnya Riki-kun sampai ke kelas. Dia sudah ingin menyapa Riki-kun ketika ibu guru masuk dan menyuruh mereka semua duduk.

KYAAAAAAAAAAAA!!!

Riki's Life

Yeah, Riki's Life, not Reachy's Life. Jujur, alasan mengapa kisah Reachy tidak kunjung muncul lanjutannya, adalah karena saya bingung. Bukannya tidak ada ide sama sekali. Yang ada, malah terlalu banyaknya ide, sampai saya tidak tahu mana yang harus ditulis terlebih dahulu. Menyerah? Iya, untuk sekarang. Doakan saja, suatu saat nanti, saya mampu kembali menyusun alur untuk Reachy dengan baik dan benar.

Then, mari beralih ke Riki's Life. Ide ini muncul tentu saja dari tokoh yang saya buat untuk RPF pertama saya. Awalnya, memang saya sudah sedikit merancang masa lalu yang dimiliki si Riki ini. Yang membuat saya berminat menuliskankan idenya adalah karena dalam RPF, ada yang disebut FF atau FanFictions. Yang diceritakan dalam FF rata-rata adalah tentang kisah si tokoh dengan tokoh-tokoh lain yang ada dalam RPF tersebut. Inilah alasan utama kenapa saya lebih memilih posting di blog terlebih dahulu. Riki's Life yang akan saya posting di sini, tidak bercerita tentang Riki dengan teman-temannya di dunia Ryokubita. Melainkan kisahnya sebelum menjejakkan kaki di sekolah sihir Jepang itu.

Oke, seperti Reachy's Life, kisah ini takkan selesai dengan satu posting. Tapi, sepertinya, juga tidak sepanjang kisah Reachy. Imajinasi tentang tokoh ini, untungnya belum begitu banyak saat saya berminat menuliskannya. So, enjoy it.

Feel free to drop your comment. I appreciate every single character you give to me. =P

I am writing!

on Tuesday, May 11, 2010
Yeah, I don't need you to tell me how unconsistent I am. Pertengahan Maret, saya sudah membulatkan tekad untuk kembali menulis. Dan tanggal berapa sekarang? Yap, 11 Mei. Hampir dua bulan, eh?

Sebenarnya, sebelum bulan keempat berakhir, saya sudah ingin posting. Tapi, belum ada ide yang cukup menarik. Apa sekarang ada ide? Nggak juga. Cuma lagi pingin iseng mengisi blog. Mungkin sekadar memberitahu aktivitas saya, setelah hampir dua bulan menghilang setelah pembulatan tekad. Okay, I should say it. Sudah sekitar dua minggu lebih, saya mulai konsisten nulis, eh ngetik.

Pernah dengar Role Play Forum? RPF bukan RPG. Saya pernah mendengarnya kurang dari setahun yang lalu, lebih tepatnya bulan Juli 2009. Lebih tepatnya lagi? Err, lupa. Tapi, saat itu saya yang masih kecanduan berbagai macam game yang membutuhkan internet (baca : game online), belum terlalu berminat. RPF yang saya tahu pertama kali adalah IndoHogwarts. Seperti namanya, RPF ini berdasarkan dunia yang diciptakan oleh J. K. Rowling. Sebagai pecinta Harry Potter, seharusnya saya tertarik. Tapi, racun game memang teramat sulit ditolak. Jadi, saya lewatkan saja kesempatan mendaftar ke Hogwarts saat itu.

Sepuluh bulan berikutnya, entah ada angin apa, ada yang mengatakan pada saya, bahwa pendaftaran IndoHogwarts dibuka lagi. Tertarik? Sedikit. Sudah mulai memikirkan nama, visualisasi. Tapi, masalahnya, saya lebih tertarik pada visualisasi Asia, sedangkan di IndoHogwarts, dibutuhkan semangat juang 45 untuk mendapatkan jatah itu. Sampai di situ, keinginan untuk menulis kembali memang belum begitu muncul. Apalagi, di hari pembukaan pendaftaran IndoHogwarts, yang cuma satu hari, saya tidak menyentuh internet sama sekali. Jadi? Batal, jelas.

Baru beberapa hari setelahnya, di tengah-tengah kebosanan yang menyiksa, saya sedikit menyesal. Kenapa tidak maksa daftar saja dulu. Toh, ada yang bisa diminta mendaftarkan (lalala~). Lalu, saya diberitahu bahwa ada RPF lain yang juga bercerita tentang sekolah sihir, hanya saja ber-setting di Jepang, akan membuka pendaftarannya beberapa hari lagi. RPF kali ini, namanya Ryokushoku o Obita, biasa disingkat Ryokubita.

Nah, berbeda dengan IndoHogwarts yang rata-rata visualisasinya diisi oleh wajah-wajah barat, di sini, lebih diisi oleh wajah-wajah Asia. Senang? Tentu. Tapi, kebalikan dengan IndoHogwarts yang rata-rata namanya memang barat, di Ryokubita yang settingnya Jepang, tentu saja, kebanyakan namanya adalah nama Jepang. Sedikit mentok di sini. Sudah berapa tahun berlalu? Masa di mana hidup saya diisi oleh manga, anime, belajar bahasa Jepang dasar. Dan kecintaan saya pada Jepang sudah cukup luntur. Secara saya selalu mentok ketika membuat cerita dengan tokoh utama bernama Jepang.

Akhirnya, diberi ide, katanya, selipin aja nama tengah yang barat, terus ditulis pakai inisial. Nice idea. Nama depan dan belakang? Depan sudah dapat sih, biarpun aslinya tidak berbau Jepang, bisa dimodifikasi sedikit. Belakangnya? Ribet. Maklum sudah bosan dengan nama keluarga Jepang yang rasanya, mirip semua bunyinya dan cukup pasaran. Sudah hari pendaftaran, masih saja belum kepikiran. Akhirnya, kepepet, ambil nama yang biasa dipakai sajalah.

Nama selesai. Lalu, juga sudah minta tolong didaftarkan dulu karena lagi-lagi saya berhalangan untuk menyentuh internet. Then, dimulailah keaktifan saya kembali dalam bidang mengkhayal dan berimajinasi. Kaku di awal, jelas. Sadar koq, sejak mengenal game online, frekuensi saya menuangkan imajinasi ke dalam tulisan, benar-benar semakin berkurang.

So? Will you pray for me that this spirit will never die? At least, until I can make a new story again?

Buat yang penasaran. Namanya, Riki Celeste Mikagami.

Menu yang "Menyenangkan"

on Tuesday, March 23, 2010
Menu beberapa hari yang lalu :
Makan siang :
- Nasi putih
- Labu
- Tempe
- Asap rokok yang luar biasa pekatnya
*Can you do that in other place? I'm eating right now!


Makan malam :
- Nasi putih, habis dalam beberapa kali gigit
- Cumi, cuma 1 sendok
- Telor, hanya beberapa iris
- Martabak, berukuran 8x8 cm
- Sate ati
- Otak-otak tengiri, yang luar biasa kecilnya
*What's with that portion? I didn't feel like I have been eating.

Write again?

on Wednesday, March 17, 2010
Okay, I know that it's fast since my last post 3 days ago. It's not like I have my mood to write something or there is something I want to write =p Honestly, I'm trying to trigger my spirit to write again, to fill this blog again, to make my imagination going wild again..

Hari ini saya merasa seperti kembali menjadi seseorang yang baru saja belajar menulis. Penyebabnya adalah sejak jemari-jemari saya mengenal keyboard komputer, saya mulai melupakan menulis. Mungkin sudah lima tahun berlalu sejak saya kurang tertarik menulis karya saya di lembaran-lembaran kertas menggunakan pensil atau pena. Saya lebih tertarik untuk menarikan jari-jari saya di atas keyboard.

Actually, what I do today is something very simple. Ini hanyalah sebuah cara yang paling mendasar untuk mulai menulis atau menyusun berita tepatnya. Of course, what I talk here is 5W + 1H. Sesuatu yang hampir saya lupakan. Saya masih ingat, ketika pertama kali diberi tugas untuk menulis dengan menggunakan kerangka 5W + 1H, jujur saya kesulitan. Terbiasa menuliskan sesuatu yang fiksi tanpa aturan apapun, ketika diberikan aturan untuk menulis, hal ini membuat kata-kata saya mati. Untungnya, itu hanyalah salah satu bab yang hanya dibahas maksimal 2 pertemuan.

Ketika hari ini saya bertemu mereka lagi, saya merasa kesulitan. Memikirkan isi dari 5W + 1H mungkin cukup mudah. Merangkainya menjadi kalimat yang indah dan enak didengar atau dibaca, di situlah kesulitan saya. Mungkinkah akan jadi lebih mudah kalau saya terbiasa menulis setiap hari? Menulis dengan pena tentunya, bukan keyboard.

Satu hal lagi yang sedikit saya sulit lakukan adalah menulis berita. Okay, I never imagined or dreamed to be a newscaster or journalist. Saya lebih tertarik pada berbagai macam fiksi atau bacaan yang penuh fantasi, yang membuat imajinasi saya mampu melayang jauh. Dan saya tidak bisa menemukan hal itu dalam menulis berita.

Dengan semua alasan itu, jadi kenapa saya ikut-ikutan acara pelatihan jurnalis yang jelas-jelas kurang menarik minat saya? Saya berharap dengan pelatihan ini, minat menulis saya yang sekarang seperti sedang tersaput kabut tebal, bisa cerah kembali. Selain itu, mungkin saya merasa ini merupakan sebuah tantangan?

Anyway, I still don't know how to write without any point of view..

Games : Buang Waktu atau Melepas Stres?

on Sunday, March 14, 2010
A game is a structured activity, usually undertaken for enjoyment and sometimes used as an educational tool. (sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Game)

Ketika menulis, tulisan ini, terus terang, otak saya sepertinya sedang tidak pada tempatnya atau lagi hang atau entahlah. Saya menemukan beberapa hal tentang game dari sumber yang sama, wikipedia. Jangan protes kalau saya menggunakan wikipedia sebagai sumber. Ini satu-satunya website yang saya tahu akan langsung memberikan definisi dari sebuah kata games. Bisa Anda baca sendiri di sumber yang saya berikan, apa itu game sebenarnya?

Buat saya, game adalah salah satu sarana untuk melepaskan stres. Dan game memang terkenal untuk hal yang satu ini. Walaupun ada game yang cukup bikin stres karena membutuhkan konsentrasi dan daya pikir yang lumayan. Tapi, game yang seperti ini cukup membantu otak kita untuk berolahraga dengan sukarela, dibandingkan harus memikirkan berbagai macam pekerjaan yang lain, game tentunya lebih menyenangkan, kan? Of course. That's way game is invented, I think.

Tetapi, sebagai seseorang yang bisa dibilang cukup kecanduan pada berbagai macam game, saya merasakan sesuatu yang berubah dari tujuan game tersebut. Okay, to the point, I refer to facebook game. Saya termasuk orang yang suka mencoba game-game baru di facebook. Dan semakin saya mencoba berbagai jenis game, semakin saya tidak mengerti. Untuk beberapa game, it's feel like a wasting time. Benar-benar buang waktu. Satu, dua jam, tiba-tiba sudah berlalu tanpa merasa bahwa saya telah melakukan sesuatu. Untuk beberapa game lain, saya juga merasakan seperti dikejar-kejar waktu. Ingin cepat-cepat login facebook, hanya untuk main. What the...?

Dan game-game ini juga tidak memberikan perkembangan apa-apa untuk saya. Yang ada malah waktu habis dalam sekejap sementara saya masih punya banyak hal untuk dilakukan. Saya juga tidak habis pikir. Beberapa gameplay-nya benar-benar amat sangat simple dan benar-benar tidak dibutuhkan uang nyata untuk memainkannya. Apa yang didapat developer-nya setelah usaha untuk membuat, me-maintenance, dan melayani permintaan-permintaan pemain? Lalu, apa pula yang sebenarnya didapat oleh pemain-pemainnya? Dan yang saya tidak mengerti, mengapa saya tidak bisa berhenti memainkannya walaupun rasa bosan itu sudah menumpuk dan menginginkan sesuatu yang fresh?

Entah kenapa game-game seperti ini membuat saya merenung. Ujung-ujungnya saya cukup merasakan beban yang membuat saya sedikit merasa stres. Waktu habis, kerjaan numpuk, bosan. What a game. Mungkin saya hanya butuh usaha dan tekad yang lebih kuat untuk melepaskan diri dari jeratan game-game yang tak berguna. Huff..

Talents and You

on Friday, January 22, 2010
Huwah.. Udah hampir 3 bulan ga posting.. hehe.. Gara-gara ga ada topik yang melintas di otak + tak adanya waktu untuk mencari inspirasi =p

Beberapa hari ini, sejak maraton tugas, proyek, dan ujian praktek dimulai, entah kenapa ada sesuatu yang terus melintas di otak saya. Itu adalah sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang tokoh bernama Ueki dari komik "The Law of Ueki". Agak-agak lupa gimana kalimatnya yang sebenarnya, intinya kurang lebih seperti ini : "If you lack of talent, you just need to try harder". Kalau Anda merasa kekurangan talenta, Anda hanya perlu untuk berusaha lebih walaupun tingkat kesulitannya jelas berkali-kali lipat dibandingkan bila Anda sudah mempunyai talenta.

Intinya, jangan mudah menyerah. Yang dicontohkan di dalam komik tersebut adalah talenta lari yang sebelumnya dimiliki Ueki. Tetapi, tiba-tiba saja karena suatu hal, talenta itu diambil darinya. Ueki yang sebelumnya mampu untuk berlari cepat sekarang tak mampu lagi. Tapi, pada titik itu, dia tidak menyerah dan berusaha lebih keras untuk menyelesaikan putarannya.

Mungkin hal inilah yang sedikit memberi saya semangat untuk terus berusaha sampai akhir, menyelesaikan semua tugas, proyek, dan ujian. Harapannya, di akhir, saya bisa tersenyum puas menatap hasilnya tanpa ada penyesalan "kenapa saya tidak berusaha lebih lagi?".

Bicara tentang talenta, mungkin Anda sering merasa iri dengan orang lain yang diberi anugrah talenta yang lebih. Anda terus menerus berpikir, seandainya saya jadi dia, seandainya saya adalah si itu, seandainya, seandainya, dan seandainya. Kebetulan juga, saya baru saja selesai membaca sebuah komik berseri berjudul "Fruits Basket". Salah satu komik dengan beragam masalah dan penyelesaiannya. Salah satu inti yang bisa saya ambil adalah be yourself. Jangan pernah mencoba menjadi orang lain. Hal seperti itu tidak akan membuahkan apa-apa, malah menggerogoti diri Anda sendiri.

Mm.. Jadi, ketika Anda ingin berusaha keras untuk melakukan sesuatu, ada baiknya Anda sadar, ada sesuatu yang walaupun sudah berusaha sekeras apapun, tidak akan bisa dicapai. Diri Anda sendiri adalah sesuatu yang unik, yang tidak akan bisa disamai oleh orang lain. Jadi, percaya dirilah :D

Sekian~ Singkat, ya? >.<