A Creature? - III

on Monday, August 02, 2010
“Rikkun masih saja tidak bisa diajak bercanda,” keluh sebuah suara berat.

“Bebek? Tidak bisakah memikirkan hewan lain yang lebih berbahaya? Serigala? Singa? Macan? Banyak binatang yang jauh lebih menyeramkan,” tuntut sebuah suara sopran dengan kesal. Menghela nafas. “Setelah ini, Rikkun pasti akan semakin sulit dikelabui.”

“Padahal aku ingin melihat dia tertawa. Sudah berapa tahun aku tidak melihatnya tertawa?”

Menghela nafasnya lagi. Ya, kapan terakhir kali tawa singgah di bibir mungil itu? Sejak peristiwa itu, semua kecerian Rikkun seakan diperas habis. Yang tersisa hanyalah kepahitan dan kehampaan yang terus menggerogoti tubuh mungil itu. Dia sudah teramat bersyukur bahwa Rikkun tidak pernah mencoba bunuh diri. Atau mungkin belum?

“Jangan bercanda tentang siluman pada Rikkun. Baka. Dia sensitif pada hal itu. Baka. Baka.”

“Iya, aku bodoh. Tidak harus diucapkan sampai tiga kali, kan?” Menatap istrinya dengan kesal lalu memberikan sebuah kecupan di bibir wanita itu. Seperti biasa, masih sama seperti saat pertama kali dia melakukannya, pipi istrinya langsung memerah.

* * *

“Rikkun! Rikkun!” BRAKK! “Rikkunnn!!”

Mengangkat kepalanya dari buku yang sedang dibacanya. Adiknya sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan wajah merengut. Sudah berapa kali Ricchan memanggilnya tadi? Dia cuma mendengar panggilan terakhir yang diawali dengan suara gebrakan pintu kamarnya.

“Apa, Ricchan?”

“Mainnnn!!”

“Main apa?”

Tangan kiri adiknya yang sedari tadi tersembunyi di belakang tubuh mungil itu, sekarang ditunjukkan. Sebuah boneka... bebek dengan warna yang tidak wajar. Paruhnya memang jingga. Tapi, tidak warna bulunya. Biru, sewarna langit cerah, sewarna dengan rambutnya. Itu adalah hadiah ulang tahun Ricchan dari ayahnya. Entah apa maksud ayahnya itu memberikan sebuah boneka bebek pada adiknya. Menyindirnya karena tidak bisa diajak bercanda malam itu?

Tapi, tidak, memang tidak ada boneka bebek dengan bulu berwarna biru. Boneka itu diwarna, tentu saja. Oleh adiknya dan ayahnya. Sejak saat itu, boneka itu menjadi mainan kesayangan Ricchan. Selalu dibawa ke mana-mana. Selalu dimainkan kapanpun. Sudah tidak bisa dipisahkan sepertinya.

“Ricchi mau diapain?” Itu nama boneka bebek biru ini, ngomong-ngomong. Seperti punya saudara lagi, eh? Adik laki-laki berwuju boneka bebek berwarna biru. Ergh. Mungkin dalam hati ayahnya, laki-laki itu sudah tertawa puas karena berhasil mempermainkannya habis-habisan. Dia juga tidak mampu lagi memaksa Ricchan mengganti nama bebek itu.

“Warnain paruhnya jadi biru!”

Kamisama.