Distance

on Thursday, April 28, 2011
Shakespeare said, "What's in a name?"
And I will say, "What's in a distance?"

Siapa yang tidak pernah mendengar sebait pertanyaan "Apalah arti sebuah nama?" yang diucapkan Juliet pada Romeo? Hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti pernah mendengarnya, ditambah lagi dengan seringnya penggunaan quote tersebut di berbagai macam media. Dan mungkin, ketika Anda mendengar pertanyaan tersebut, secara spontan Anda akan menjawab bahwa nama itu penting. Bahwa tanpa nama, kita tidak bisa menyebut sesuatu baik makhluk hidup maupun benda mati dengan mudah. Tanpa nama, kita tidak akan memiliki label. Yea, nama itu cuma label. Sounds like peyorasi, eh?

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Bukan tentang nama, tapi tentang jarak. Tidak pernah ada serentet kalimat seperti betapa tidak pentingnya jarak antar bunga yang satu dengan yang lain yang mengikuti pertanyaan "What's in a distance?" Juga tidak pernah tercatat ada scene penuh dengan mawar tanpa duri yang mengikutsertakan kalimat ini. Ini hanya sebuah pertanyaan atau pernyataan. Ada apa di dalam jarak? Apalah arti sebuah jarak? Sama seperti Anda yang akan langsung berceloteh panjang lebar tentang pentingnya sebuah nama, saya juga ingin berceloteh panjang lebar tentang jarak. Bukan dari segi kepentingannya tapi dari segi keeksisannya.

Untuk apa jarak itu eksis? Mengapa jarak harus eksis? Mengapa jarak tidak dihilangkan dari muka Bumi saja? Mustahil, saya bisa mendengar Anda menjeritkannya. Jarak eksis karena apa pun yang hidup membutuhkan jarak. Tanpa jarak, apakah Anda bisa mensyukuri tibanya sebuah paket yang telah Anda nanti-nanti dengan selamat? Apakah Anda bisa menyadari rasa lelah yang menggelayuti setelah menempuh jarak yang jauh lalu bersyukur karena bisa tiba dengan selamat? Apakah Anda bisa merasakan sensasi senangnya menelepon seseorang yang begitu jauh jaraknya? Apakah Anda bisa merasakan rindu pada seseorang yang dipisahkan oleh jarak? Dan tahukah Anda, ada pepatah mengatakan "Yang dekat akan terasa jauh, yang jauh malah terasa dekat". Dan bagaimana pepatah ini bisa muncul kalau jarak tidak pernah eksis?

What's in a distance? That which we call a far
By any other name wouldn't feel so far away

* * *

An anonym scientist made a formula: D = S x T
where D = Distance, S = Speed, and T = Time

Rumus sederhana yang biasa dijejalkan di otak anak-anak SMP. Rumus yang menyesatkan karena yang dibutuhkan untuk menghitung jarak bukan hanya kecepatan dan waktu. Bagaimana kalau ada soal cerita seperti ini: Budi menempuk jarak dari sekolah ke rumahnya selama dua jam. Kecepatan sepeda motor Budi adalah 20km/jam. Berapa jarak yang ditempuh Budi? Mungkin anak-anak SMP akan langsung menjawab, 40 km. Sebentar, sayangnya, ada yang lupa dicantumkan dalam soal tersebut. Tapi, Budi mengalami kemacetan selama satu jam. Jadi, berapa jarak yang telah ditempuh Budi? Dan tidak, saya tidak perlu jawaban Anda kecuali Anda baru saja mengukur jarak sesungguhnya yang ditempuh oleh Budi menggunakan meteran bukan kalkulator.

Saya cuma ingin mengatakan bahwa ada elemen lain yang diperlukan oleh manusia untuk menghitung jarak. Apalagi kalau yang menghitung jarak adalah manusia, bukan mesin. Manusia itu memiliki persepsi tersendiri pada apa saja yang terjadi di sekelilingnya. Siapa yang selalu mengeluhkan putaran waktu yang terlalu cepat atau terlalu lambat? Manusia. Karena bagi makhluk hidup lainnya putaran waktu itu selalu konstan, tetap, tidak pernah berubah karena tidak ada unsur percepatannya. Siapa yang menganggap bahwa suatu jarak itu jauh atau dekat? Manusia. Karena cuma manusia yang memiliki persepsi sedangkan makhluk lainnya tidak.

And I will make a formula: D = S x T + P2
where P = Perception

* * *

The distance is nothing; it is only the first step that is difficult
-Madame Marie du Duffand-

I'll Wait Forever

on Friday, April 01, 2011
Ia suka komet.

Kata om Google dan tante Wiki, komet adalah sebuah model web aplikasi di mana permintaan HTTP yang sudah lama dipegang, mengizinkan sebuah web server untuk mendorong data ke browser, tanpa browser memintanya secara eksplisit. Tapi bukan komet itu yang ia sukai. Komet yang ia sukai terdiri dari campuran es (air dan gas yang membeku) dan debu yang tidak menjadi planet ketika tata surya terbentuk. Komet yang memiliki orbitnya sendiri dan hanya bisa terlihat saat berada di dekat matahari. Terkadang tak terlihat selama beberapa milenium, tapi ada beberapa yang terlihat hanya dalam waktu seabad. Perjalanan jauh ditempuhnya, jutaan tahun cahaya dilaluinya.

Itu, komet yang ia sukai.

Dan ia, ia yang tak bisa berpindah tempat. Ia yang hanya bisa menunggu. Ia yang hanya bisa menatap langit, menunggu datangnya sang komet. Ia diam dengan sabar, tak pernah mengeluh, dan tak pernah menuntut. Ia tahu, sang komet akan datang suatu saat. Ia tahu, penantiannya takkan sia-sia.

Tapi tahukah kau, ada berapa banyak benda langit yang berkelap-kelip riang?

Tak tahu? Coba tengoklah langit yang dengan setia menaungimu setiap saat. Ketika siang hari, indera penglihatanmu hanya akan dibutakan oleh cahaya matahari yang bersinar ceria. Tak ada kerlipan riang yang menonjol dan membuatmu jatuh hati. Kau menatap langit siang dengan wajah cemberut, kecewa. Tapi tunggulah beberapa saat lagi ketika langit sudah menggelap. Sekarang lihatlah pada kekelaman malam yang biasanya tak kau sukai. Kerlipan cahaya terlihat dimana-mana. Menara pemancar, kerlipan lampu di sayap burung besi yang bergerak lamban, kerlipan lain di gedung-gedung tinggi pemecah rekor dunia. Seakan belum cukup, masih ada cahaya artifisial lainnya yang menampilkan warna-warni semarak dan ditunggu oleh tiap orang. Kembang api, begitu mereka menyebutnya. Kau pun terpana tapi kerlipan cahaya itu hanya sesaat. Dan tahukah kau? Ada cahaya lain, cahaya yang lebih riang dan lebih tahan lama. Tataplah kembali langit malammu, pandanglah bintang-bintang yang tak pernah berhenti memancarkan cahayanya. Mereka cantik, kan?

Berjuta pilihan di sisiku
Takkan bisa menggantikanmu

Dan tahukah kau bahwa itu tak mudah?

Langit takkan selamanya secerah malam ini. Awan yang berarak, petir yang menyambar, kilat yang menyala, titik-titik air yang turun, dan semua keindahan malam pun tak lagi terlihat. Begitu juga dengan sang komet. Ia gelisah tapi ia tahu, sang komet takkan memilih saat yang buruk untuk menghampirinya.

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas

Lalu berapa lama penantian yang harus dilaluinya?

Ia tak tahu. Sering ia mencoba menghitung waktu yang berlalu sedemikian lambat tapi dengan segera hitungannya terlupakan. Ketika ia ingin mencoba lagi, alam menghapus hitungannya. Ia tak menyerah, ia terus mencoba walaupun ia tahu itu sia-sia. Hanya sekadar kegiatan untuk membunuh sang waktu yang begitu kejam.

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

* * *

Dan mengapa kau begitu menungguku, hai bunga?

Aku takkan pernah sanggup menghampirimu. Aku takkan pernah... takkan pernah bisa sekeras apapun aku berusaha. Tahukah kau, aku memikirkanmu. Aku mengasihanimu. Karena aku tahu betapa sia-sianya penantianmu. Dalam perjalananku, aku melihat banyak hal. Banyak hal yang mengingatkanku pada dirimu. Bintang-bintang yang bercahaya, satelit yang memantulkan cahaya, planet-planet, sahabat-sahabat kometku yang mengorbit tanpa henti. Kau tahu, aku sering menitipkan pesan pada mereka. Kataku, terangilah malam, ramaikanlah malam supaya kau tak kesepian. Jangan biarkan awan menghalangi kilau cahaya kalian. Dan mereka selalu menyampaikan hal yang sama padaku.

Mereka mengasihanimu.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tak sabar menunggu saat aku bisa menengokmu, saat aku bisa melihatmu, bersinggungan dengan atmosfer untuk menampilkan cahayaku. Aku ingin memberitahumu bahwa aku di sini, selalu memikirkanmu di setiap detik cahaya. Tapi aku juga ingin mengatakan padamu untuk berhenti menantiku. Mampukah aku? Mampukah aku menghapus diriku sendiri dari setiap detikmu? Karena ketika saatku tiba untuk menjengukmu, aku tak sanggup menahan kegembiraan saat melihatmu. Cahayaku lebih terang dan kau pun terlihat gembira. Penantian panjangmu akan segera berakhir, mungkin itu pikirmu. Tapi tidak, hai bunga, aku hanya lewat dan takkan pernah singgah sampai kapanpun.

Lalu semuanya terulang lagi.

Semua penantianmu yang sia-sia.

Dan aku pun tak sanggup. Kukatakan pada meteor, maukah ia menemanimu? Kau tahu betapa sakitnya aku saat kudengar meteor mengiyakan permintaanku? Aku tak rela melihatmu ditemani oleh yang lain. Aku tak rela melepaskanmu. Aku tak sanggup untuk memberikanmu pada yang lain. Tapi tidak, aku akan bertahan dan aku menatap sang meteor yang menghampirimu. Aku tahu, kau akan mengucapkan permohonanmu cepat-cepat, takut sang meteor lenyap sebelum permohonanmu selesai diucapkan. Tapi kali ini tak perlu, hai bunga.

Karena sang meteor akan menemanimu, selamanya.

Dan kau akan menjadi setangkai bunga yang ditemani oleh bintang jatuh. Bunga Bintangku satu-satunya.


Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Comet_(programming)
http://nineplanets.org/comets.html

Credit:
Nikita Willy – Kutetap Menanti