Bukan Cinderella

on Sunday, November 06, 2011

Aku iri pada Cinderella.


Aku tidak tahu apakah wajahnya cantik atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah tubuhnya sekurus lidi atau berlekuk seperti gitar Spanyol. Tidak ada satu pun kisah tentang Cinderella yang memberikan deskripsi jelas seperti apa Cinderella itu. Hanya dikatakan bahwa Cinderella adalah gadis yang tidak bahagia karena ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak dua, yang sayangnya, janda ini bukanlah ibu yang baik bagi Cinderella karena kasih sayangnya hanya untuk kedua anaknya sendiri. Cinderella diharuskan untuk bekerja seharian dan hanya diperbolehkan untuk duduk di dekat perapian ketika malam tiba. Dari situlah dia mendapat julukan Cinderella, karena ada banyak abu di dekat perapian dan bahasa Inggris dari abu adalah cinder. Tapi, dengan segala kesialan yang dimilikinya, Cinderella mendapatkan akhir hidup yang bahagia. Menikah dengan Pangeran, tinggal di istana, hidup bahagia selamanya.


“Hmph. Aku juga mau.”


Tapi, mana ada ibu peri betulan di dunia nyata? Tidak ada dan aku tidak percaya pada ibu peri. Karena itu, aku iri pada Cinderella yang hidup di negeri dongeng, negeri yang segala sesuatunya bisa terkabul.


“Mau coba?”


“Hah?”


Tring.


...


“Oh, maaf,” tapi nadanya tidak terdengar seperti meminta maaf, “aku calon ibu peri yang baru belajar.” Seorang wanita yang dikelilingi oleh kilau berwarna hijau menatapku dengan ekspresi geli. Geli, bukan merasa bersalah. “Dan aku baru belajar satu mantra.”

“Kwek!”


“Aku tidak tahu kalau mantra itu untuk mengubah manusia jadi bebek...”


“KWEEEK!”


Aku marah. Mana ada ibu peri yang bodoh begini di negeri dongeng? Ibu peri selalu kelihatan sempurna dan penuh dengan keajaiban. Ibu peri selalu datang untuk mengabulkan apapun keinginan kita! Bukan menghancurkan wujud seperti ini!


Aku melangkahkan kedua kakiku yang pendek dan berselaput dengan marah. Dalam versi manusia, aku akan terlihat menghentak-hentakkan kaki dan membuat jejak yang dalam pada tanah yang kupijak. Tapi, dalam versi bebek, bagaimana tampang marahku? Memangnya bebek bisa menghentakkan kaki dan berekspresi marah serta menaikkan darah ke kepala sampai muka berwarna merah? Memangnya seperti apa tampang bebek yang sedang marah?


“Lucu.”


“KWEEK!”


Aku menoleh dan melihat seekor kucing yang sedang bergelung nyaman di akar-akar pohon dan menyeringai menyebalkan.


“Bercanda, Bek.” Kucing itu melepaskan gelungannya lalu melangkah ke arahku. Aku waspada. Aku tidak tahu apakah kucing juga makan bebek. Setahuku, kucing itu temannya macan. Jadi, waspada saja tak apa-apa, kan? Kucing itu sampai di depanku dengan tampang yang masih menyeringai menyebalkan. “Aku mau minta tolong, Bek.”


Aku memalingkan muka. Aku tidak mau membantu kucing yang menghinaku.


“Kau bantu aku,” kucing itu berbicara lagi, “aku akan bantu kau kembali jadi manusia dan menemukan akhir bahagiamu seperti... Cinderella.”


Aku bertahan pada posisi memalingkan mukaku. Tapi, aku tidak tahan. Aku ingin kembali jadi manusia dan aku... ingin memiliki akhir bahagia seperti Cinderella. Anak perempuan mana sih yang tidak mau hidup bahagia selamanya seperti dalam kisah-kisah dari negeri dongeng? Anak perempuan mana yang tidak ingin bertemu dengan Pangeran yang kaya raya, tampan, dan punya kastil yang luar biasa besarnya, lalu menikah dengan sang Pangeran? Yang pasti, aku mau. Karena itu, aku menoleh dan menatap kembali kucing tadi dengan tampang yang masih diangkuh-angkuhkan. Kucing itu tersenyum lebar, mengingatkanku pada kepala sekolahku yang suka melebarkan senyumnya sebelum memberikan hukuman lari 20 kali keliling lapangan.


“Cinderella sudah berubah menjadi seorang gadis yang pemarah.”


Kucing itu bicara sambil berjalan dan aku mengikutinya dengan tampang bingung. Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh si kucing. Siapa Cinderella? Jangan bilang kalau Cinderella yang dimaksud oleh si kucing adalah Cinderella bersepatu kaca yang menikah dengan Pangeran dan hidup bahagia selamanya! Jangan bilang kalau Cinderella yang ini adalah Cinderella yang sama dengan Cinderella yang selalu membuatku iri itu!


“Iya,” si kucing menghembuskan napas keras-keras, “Cinderella yang itu.”


Aku melongo. Bebek ini ternganga. Aku tidak menyangka kalau... kalau Cinderella itu benar-benar ada! Dan inikah... inikah negeri tempat tinggal Cinderella? Aku mendongak untuk melihat langit, menunduk untuk melihat rerumputan yang kuinjak, menoleh untuk melihat pemandangan di sekitarku, lalu tatapanku kembali pada si kucing lagi. Tatapanku menyiratkan protes. Bohong!


Si kucing menghela napas. “Segala yang bisa dilempar, akan dilemparkan. Segala yang bisa ditendang, akan dilesakkan dan dipenyokkan dan dibuang ke tempat yang jauh. Segala hal yang berpotensi untuk menaikkan amarah Cinderella, akan disingkirkan sesegera mungkin.


“Kau lihat sendiri akibatnya pada negeri dongeng, langit bermuram durja dan warnanya berubah dari biru cerah menjadi jingga cerah. Langit juga menangis dan musim hujan hampir selalu datang setiap hari. Bumi yang semula hijau sekarang menjadi coklat, secoklat air teh. Butiran pasir berubah menjadi batu-batu coklat dan besar, membuat banyak orang tersandung. Lautan ikut bersedih dan warnanya berubah menjadi merah merona. Dan kastil Pangeran yang semula berwarna merah bata ceria, kini menjadi putih pucat dan tak ada setetes warna pun yang bisa memulihkannya. Yang lebih parah, Cinderella tak pernah mengenakan gaun biru cerahnya lagi. Semua pakaiannya telah berubah menjadi hitam kelam.


“Dunia dongeng berada dalam bahaya. Dan peramal kerajaan mengatakan bahwa seekor bebek akan datang dan menyelamatkan negeri kami!"


"Kwek?"


Aku tidak mengerti, seperti kebanyakan para pahlawan penyelamat dalam negeri dongeng... bukan itu maksudku. Aku ingin protes, bagaimana mungkin bebek yang tak bisa bicara sepertiku bisa menyelamatkan negeri dongeng?!


"Kita sudah sampai."


Aku menoleh cepat lalu mendongak dan aku... ternganga. Ini istana, kastil, puri, apapun kau ingin menyebutnya. Besarnya benar-benar besar. Dan warnanya benar-benar putih bersih. Dan pintu terbuka. Dan... dan kami melangkah masuk ke dalamnya! Aku benar-benar tidak bisa percaya! Mengapa aku memasuki kastil seindah ini ketika wujudku bebek begini?! Mengapa bukan ketika aku berwujud manusia, hah?!


"Hati-hati."


"Kwe--gh."


Sebuah bantal mendarat di wajahku. Dan bantal lainnya, dan bantal lainnya, dan aku—memutuskan untuk—terjengkang.


"Yang Mulia." Si kucing membungkuk takzim, setakzim yang kucing bisa. "Hamba membawa sang pahlawan. Dan seperti ramalan peramal kerajaan, dia diharuskan untuk tinggal sekamar dengan Yang Mulia."


"Mana bebeknya? Itu? Bebek jelek macam itu?! Jangan bercanda! Dia bahkan tidak bisa bertahan di atas dua kakinya setelah kulempari bantal!”


Dan sebuah bantal melayang kembali ke arahku. Aku masih terjengkang dan tak berminat untuk bicara atau protes karena aku tahu, paruhku ini hanya bisa mengeluarkan satu jenis kata.


“Sabar, Yang Mulia. Bebek memang hewan lemah. Tapi, biarkan dia mencobanya dahulu. Bagaimana kalau kita masukkan dia ke dalam kandang bebeknya saja, Yang Mulia?”


...


Tidak ada suara. Aku tergoda untuk mengangkat kepala dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh si kucing dan Cinderella. Tapi, aku takut pada Cinderella. Putri itu benar-benar tidak seperti bayanganku. Aku memang iri pada sosoknya yang sangat sempurna. Dan harusnya, aku senang melihat kenyataan bahwa Cinderella tidak sesempurna itu. Tapi, melihat ketidaksempurnaannya secara langsung itu... aku... aku merasa tidak sanggup.


* * *

“Jadi, kau yang akan menyelamatkan negeri dongeng?”


Aku sudah berada di dalam kandang bebek—walaupun menurutku lebih mirip kurungan ayam—dan sang Cinderella... mengenakan gaun dengan model yang biasa dikenakan Cinderella pada ilustrasi buku anak-anak, hanya saja, warnanya hitam. Rambutnya pirang disanggul, wajahnya dipulas make-up yang agak tebal, tubuhnya tidak kurus dan tidak seksi. Cinderella terlihat biasa saja di mataku. Ngomong-ngomong, aku cuma bersuara “Kwek” ketika Cinderella bertanya padaku.


“Aku tidak mengerti,” kata Cinderella sambil menghentak-hentakkan kakinya dan melemparkan bantal dengan penuh amarah. “Aku tahu akan ada bebek. Tapi karena ini negeri dongeng, kukira bebek yang akan muncul bisa berbicara atau setidaknya... aku bisa mengerti maksud dari kwek bebek seperti aku mengerti miaow si kucing! Tapi, kwek-mu terdengar seperti bunyi kwek biasa. Aku dibohongi!”

“Kwek!” Aku mencoba. Dan yang ingin kukatakan adalah, “Aku juga tidak mengerti! Aku... aku cuma anak perempuan berusia lima belas tahun yang setiap hari harus membantu ibu berjualan kue di sekolah-sekolah! Aku cuma anak perempuan biasa yang ingin hidupnya jadi lebih baik! Aku cuma anak perempuan yang IRI pada Cinderella dan disihir jadi bebek oleh ibu peri bodoh! Bah! Dan aku benci pada Cinderella! Hidupnya terlalu sempurna! Aku juga mau menikah dengan Pangeran! Aku juga mau tinggal di kastil! Aku tidak mau tinggal di rumah kecil yang banjir setiap hujan turun! Aku tidak mau tidur di tempat tidur yang keras! Aku juga mau jadi Cinderella!!”


Cinderella cuma diam dan raut wajahnya tidak berubah sedikit pun setelah mendengar kwek-ku. Kuasumsikan, Cinderella tidak mengerti maksud dari—luapan emosi—kwek-ku.


Sedetik, dua detik, berlangsung dalam keheningan. Jantungku berdebar-debar menanti gerakan atau suara dari Cinderella.


Sebuah bantal menghantam kurunganku. “KAU TAHU APA?!”


Kurunganku diangkat dan aku cepat-cepat kabur karena... Cinderella membawa vas besar yang pasti akan segera dilemparkan ke arahku!


PRANG!


“Kau tidak pernah tinggal di kastil sebesar ini! Kau TIDAK PERNAH menikah dengan Pangeran! Apa kau pikir gampang, hah?!”


Sebuah piring lewat tepat di atas kepalaku.


“Aku harus memakai sepatu kaca berhak tinggi setiap hari supaya tidak terlihat memalukan ketika berdiri di samping Pangeran yang terlalu tinggi!”


Sepasang sepatu kaca mengenai tubuhku.


“Aku harus selalu menjaga berat badanku, bentuk tubuhku! Aku harus selalu mengenakan korset yang membuatku sesak napas supaya perutku terlihat langsing! Aku tidak boleh makan di atas jam tujuh!”


Tumpukan korset dilemparkan ke arahku.


“Kau tahu jadwalku? APA KAU TAHU JADWALKU?!”


Setumpuk kertas menghantam leherku dan aku terjatuh.


“Jam lima aku bangun dan mandi dan berdandan dan mengenakan pakaian brengsek yang membuat napasku sesak!”


Sebuah gaun biru menguburku.


“Jam enam sarapan dua butir apel! Lalu aku harus belajar berdansa, biola, piano, memanah, berkuda, berkebun, menyanyi, balet, memasak, merangkai bunga, membuat teh, table manner! Apa kau belajar semua itu?


“Dan setelah semua itu, PANGERAN SELINGKUH! Dia meninggalkanku sendirian! SENDIRIAN, kau dengar?!”


Aku meneguk ludah.


Cinderella benar-benar menyeramkan. Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan Cinderella yang membuatku selalu iri. Ini Cinderella yang berbeda. Cinderella itu sempurna, pujaan setiap anak perempuan di seluruh dunia. Cinderella itu... Cinderella itu mimpiku! Aku ingin menjadi Cinderella! Cinderella yang selalu membuatku iri—tapi juga selalu kupuja—itu tidak boleh seperti ini! Cinderella harus sempurna!


Aku merangsek keluar dari timbunan gaun biru Cinderella. Aku menjejakkan kedua kaki berselaputku dengan penuh tekanan ke atas karpet.


“KWEK!”

Puh! Aku mau bicara! Aku mau bilang begini, “TERUS KENAPA?! Kalau capek jadi putri, ya istirahat sana! Memangnya kalau marah-marah begitu ada gunanya? Cuma menambah keriput dan menjelekkan muka! Sudah tambah jelek, Pangeran kabur, apes banget sih!”


PRAANG!


“DIAAAAM!”


“KWEEEEK!”


Maksudku, “Tidak mau! Kau Cinderella jadi-jadian! Cinderella itu bukan pengeluh! Cinderella itu sempurna! Cinderella itu panutan! Cinderella tidak akan menyerah hanya karena hal-hal begini! Kalau Cinderella menyerah, mana mungkin Cinderella bisa menikah dengan Pangeran, hah?! Kalau bukan karena Cinderella yang ingin pergi ke pesta dansa, kalau bukan karena Cinderella yang berusaha menunjukkan diri pada Pangeran sehingga bisa mencoba sepatu kaca yang cuma sebelah, kalau bukan karena keberanian Cinderella, mana mungkin Cinderella bisa jadi Cinderella yang hidup bahagia selamanya?!”


“KAU... Kau... kau...”


Mulut Cinderella membuka tutup tapi tak ada suara yang keluar. Tubuhnya bergetar karena amarah yang menggelegak. Matanya menatapku dengan penuh kebencian. Tangannya terkepal erat. Aku menatapnya dengan galak.


Detik-detik berlalu dalam keheningan. Cinderella tidak tahu harus bicara apa. Aku diam menunggu.


“Kwek,” aku mencoba memecahkan keheningan. Sebenarnya, aku ingin mengatakan, “Kenapa... kenapa tidak berhenti jadi Cinderella saja? Mencoba pekerjaan lain. Kan Pangeran sudah pergi, tidak ada yang menahan Cinderella untuk tetap di sini. Cinderella bisa bertualang atau memanfaatkan pelatihan-pelatihan yang sudah didapat selama tinggal di kastil, kan? Siapa tahu Cinderella senang bermusik atau bernyanyi...”


Aku tidak melanjutkan kata-kata dalam hatiku. Cinderella masih tidak bersuara dan aku setengah takut pada Cinderella yang diam seribu bahasa ini. Aku menunduk, pura-pura tertarik pada karpet di bawahku dan pura-pura berusaha untuk melihat kaki berselaputku.


“Aku suka berkebun.”


Aku mendongak dan menatap Cinderella dengan ekspresi terkejut. Kaget karena Cinderella akhirnya menemukan suaranya.


“Kwek.” Aku memaki dalam hati, mengapa aku harus berbicara via telepati begini, hah? Aku ingin bilang begini, “Ya sudah, berkebun sana. Cari kebun, tanam tomat. Jangan jadi Cinderella lagi kalau tidak bisa jadi Cinderella. Merusak mimpi orang saja. Cih.”


“AH! Akhirnya kutemukan kau bebek kecil!”


Aku menoleh kaget dan melihat sosok menyebalkan yang mengubahku menjadi bebek dan tidak bisa bicara seperti ini. Aku menatap galak padanya dan mengeluarkan suara “KWEEK!” keras yang memekakkan telinga.


Ibu peri bodoh itu tertawa. “Maaf, maaf, aku sudah belajar mantra kedua lho. Ini, jadi begini.” Tongkat ibu peri itu diputar-putarkan dan aku menatapnya dengan ngeri.


Tring.


...


“AAAAAAHH!! Aku mau jadi Cinderella, IBU PERI JELEEEEK! AAAAAHHH!!!”


“SITI! DIAAAAM! INI JAM TIGA PAGI, TAUK!”


“Aaaaaaah!” Aku menghentak-hentakkan kaki manusiaku dengan kesal ke lantai. Ibu berisik! Aku mau jadi Cinderellaaaa! Ibu peri jelek! Aku baru mau menawarkan pada Cinderella untuk tukar posisi, tahu! Aku mau jadi Cinderella! Aku mau jadi Cinderellaaaaa!

Angin dan AC

on Friday, June 24, 2011
Suatu hari, di sebuah ruang kelas dengan empat buah AC yang masing-masing memiliki empat swing, yang bisa disamakan dengan 16 AC . terjadilah peristiwa berikut ini.

Murid-murid: "Pak, dingin, Pak. Kecilin AC-nya, Pak."
Pak Guru: (ngasih remote AC ke salah satu murid dengan tampang polos) "Waduh, saya gak ngerti soal AC nih."
Murid-murid: "Yah, bapak. Matiin aja deh AC-nya, Pak."
Pak Guru: (masih dengan tampang polos) "Lho jangan, saya kepanasan di depan sini. Bisa nggak dibikin anginnya ngarah khusus ke depan aja gitu?"
Murid-murid: "Mana bisa, Pak!"
Pak Guru: (pasang tampang melas) "Gimana dong."
(Salah satu murid yang tadi diserahi remote AC sibuk mengutak-atik arah swing-nya AC tapi masih tak menghasilkan apa-apa)
Pak Guru: "Gini aja deh, yang masuk angin, tulis di kertas: Angin Dilarang Masuk! Terus tempel di dahi!"

Break

on Sunday, June 19, 2011
Break, a word that has many definition, according to Google's "define: break".

Untuk kesekian kalinya, tidak ada lagi postingan baru di blog ini setelah satu bulan berlalu. Kalau boleh memberikan alasan, saya ingin memberikan judul post kali ini sebagai alasan. Baik makhluk hidup maupun benda mati, semuanya membutuhkan break, dalam arti: istirahat. Manusia butuh rehat bagi jiwa dan raganya, hewan juga butuh istirahat, mesin juga butuh saat-saat untuk mendinginkan isinya yang panas. Oleh karena itu, Anda bisa menganggap bahwa kealpaan saya selama sebulan ini adalah break. Istirahat, yeah.

Walaupun begitu, seperti yang sudah saya tuliskan di atas bahwa kata break memiliki banyak arti, saya juga bisa mengatakan kata yang sama tapi dengan maksud yang sangat berbeda. Saya bisa bilang begini: "It breaks." Break dalam arti apa? Rusak, yes. Apa yang rusak? Masa blognya rusak? Agak impossible, kan? Apalagi jika kerusakannya berlangsung selama sebulan. Kemungkinan untuk itu terjadi sangat, sangat kecil. Jadi, apa yang rusak? Otak saya, tepatnya ide saya, dan niat saya. Rusak dalam artian begini, ada banyak ide acak yang masuk ke dalam otak saya, tapi hampir semua ide itu rusak. Tidak bisa diolah, tidak layak untuk dikembangkan. Dan parahnya, ide-ide seperti itu didukung oleh niat saya yang sama rusaknya. Niatnya ada, tapi cuma bertahan selama beberapa menit. Apa itu kalau namanya bukan rusak? You named it: males.

Tapi, break juga bisa berarti kesempatan. Sebuah kesempatan yang dimiliki oleh seseorang bisa digambarkan dengan kata break. Contohnya: "Hey, it's my big break!" Jadi, Anda juga boleh menganggap bahwa ketiadaan post di dalam blog ini selama sebulan ini adalah sebuah kesempatan besar bagi saya untuk... untuk... untuk menghasilkan sebuah post baru yang berkualitas. Yap, itu... terdengar bagus.

Selanjutnya, Anda pasti sangat tahu dengan arti kata break lain yang ingin saya tuliskan. Frase ini sangat lazim dipakai oleh para pasangan yang kelangsungan hubungannya sedang berada di bawah titik nol. Yea, break up. Maksudnya, putus dalam sebuah hubungan. Nah, ini juga bisa saya gunakan sebagai alasan. Hubungan yang ada diantara saya dengan blog ini mulai memburuk sehingga saya memutuskan untuk melakukan break up selama sebulan supaya masing-masing dapat melakukan instropeksi diri. Nah, alasan yang bagus bukan? Terdengar seperti alasan yang dibuat-buat? Oh, memang.

Next, Google said `A rush or dash in a particular direction`. Skip. There is no dash in a month, right?

Break lainnya adalah memaksa, menurut saya. Break-in, break-out. Memaksa masuk, memaksa keluar. Nah, paksaan macam apa yang ingin saya jadikan alasan? Saya ingin memilih break-out sebagai alasan tidak adanya post selama sebulan terakhir di blog ini. Ini karena saya dipaksa untuk 'keluar', untuk tidak melakukan posting di sini lagi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Dan pada hari ini, dengan adanya post ini, itu artinya, saya telah melakukan sebuah break-in, betul? Betulkan saja, oke. Setelah melalui paksaan untuk tidak melakukan post, saya berjuang keras dan memaksa untuk kembali melakukan post. Masalahnya, setelah a hard break-in, apakah saya tidak akan menemui break-out yang lebih kejam lagi? Well, kemungkinan itu cukup besar.

Begitulah. Setelah semua penjabaran dari beberapa arti kata break yang menurut saya cocok untuk dijadikan alasan, saya harus menjumpai break-out yang sudah menunggu saya dengan sangat tak sabar.

So, see you...

...I don't know when, but I promise that I will see you again.

Character and Me

on Tuesday, May 17, 2011
Have you ever create a character?

Sebagai seorang penulis yang tidak hanya bergelut dalam bidang percurhatan dan pergajean serta perandomisasian, beberapa kali saya pernah mendapatkan pernyataan yang sama. Pernyataan ini ada hubungannya dengan karakter-karakter yang pernah saya ciptakan, saya dalami, dan saya gali, serta saya tentukan jalan hidupnya. Pernyataan ini juga berhubungan dengan mitos bahwa karakter pertama yang diciptakan oleh seorang penulis adalah citra dari sang penulis sendiri.

"Si A ini mirip sama lu, ya."

Pernyataan ini membuat saya bertanya dan berpikir, "Masa sih?" Karena saya hampir tidak pernah membanding-bandingkan karakter yang saya ciptakan dengan diri saya sendiri. Sebut saja karakter-karakter yang sudah muncul di blog ini, Reachy, Riki, dan Resse. Kalau dilihat lagi ke belakang, karakter yang sudah bersama saya selama bertahun-tahun itu Reachy. Dan miripkah dia dengan saya? Tidak. Setidaknya, saya tidak merasa begitu walaupun ada beberapa orang yang bisa melihat kemiripannya. Lalu yang kedua, Riki. Miripkah saya dengannya? Banyak orang bilang, "Nggak! Beda jauuuuuuuh banget!" Mendengar ini, saya cuma bisa bersyukur karena itu berarti saya tidak sesuram Riki yang hidup segan mati pun tak mau. Lalu terakhir, Resse. Banyak orang bilang, ini karakter yang sangat mencerminkan saya banget. Iyakah?

Kalau Anda bertanya pada saya, saya tetap akan menjawab, "Tidak, saya tidak mirip dengan satu pun karakter yang telah saya ciptakan."

In denial mode? Maybe.

Saya juga pernah membuat sebuah novel dengan 26++ karakter yang berbeda di dalamnya. Dan salah satu beta reader saya dengan penasarannya bertanya, "Yang mana yang lu banget?" Sebagai penulis yang baik dan tidak ingin mengecewakan beta reader yang sudah mau (dengan terpaksa atau tidak) membaca tulisan sepanjang dosa itu, saya ingin memberikan jawaban dengan menyebutkan sebuah nama karakter. Tapi sayangnya, saya tidak bisa. Dan pertanyaan itu akhirnya cuma saya jawab, "Tebak coba."

Dalam kondisi labil, pertanyaan dan pernyataan di atas pernah membuat saya berpikir begini: Lalu saya itu seperti apa?

Jika dibandingkan dengan beberapa penulis di RPF yang saya kenal, sebagian besar memang menjadi bukti dari mitos yang telah saya sebutkan di atas. Mereka mirip bagai pinang dibelah dua dan mereka bangga akan hal itu. Tergodakah saya untuk membuat sebuah karakter yang begitu mirip dengan saya? Tidak. Ini bukan karena saya tidak tahu saya itu seperti apa sehingga tidak ingin membuat sebuah karakter yang mirip dengan saya, ya.

Kembali lagi pada pertanyaan salah satu beta reader saya, dia sudah mencoba menebak dan saya cuma menjawab dengan pernyataan, "Bukan," dan pertanyaan, "Emang mirip ya?" Pada akhirnya, saya cuma berkata, "Sudah, baca aja. Repot amat sih."

Dan ngomong-ngomong, semakin banyak karakter yang saya ciptakan, saya semakin merasa menjadi salah satu penderita MPD. Satu penyakit yang saya rasa pernah dianggap dialami oleh sebagian besar orang yang sangat mendalami sebuah karakter.

Nah, sesi curhat selesai. Sekarang giliran Anda, pernahkah Anda menciptakan sebuah karakter/tokoh? Kalau ya, bagaimana rasanya? Miripkah Anda dengannya? Atau seratus delapan puluh derajat berbeda? Atau Anda hanya memasukkan sebagian dari diri Anda ke dalam karakter Anda? Lalu, pernahkah Anda terpengaruh oleh karakter yang Anda ciptakan sendiri? Dan jika Anda belum pernah menciptakan sebuah karakter atau membandingkan seseorang dengan karakter yang dia ciptakan, saya tidak tahu harus bersyukur atau merasa kasihan pada Anda.

Distance

on Thursday, April 28, 2011
Shakespeare said, "What's in a name?"
And I will say, "What's in a distance?"

Siapa yang tidak pernah mendengar sebait pertanyaan "Apalah arti sebuah nama?" yang diucapkan Juliet pada Romeo? Hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti pernah mendengarnya, ditambah lagi dengan seringnya penggunaan quote tersebut di berbagai macam media. Dan mungkin, ketika Anda mendengar pertanyaan tersebut, secara spontan Anda akan menjawab bahwa nama itu penting. Bahwa tanpa nama, kita tidak bisa menyebut sesuatu baik makhluk hidup maupun benda mati dengan mudah. Tanpa nama, kita tidak akan memiliki label. Yea, nama itu cuma label. Sounds like peyorasi, eh?

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Bukan tentang nama, tapi tentang jarak. Tidak pernah ada serentet kalimat seperti betapa tidak pentingnya jarak antar bunga yang satu dengan yang lain yang mengikuti pertanyaan "What's in a distance?" Juga tidak pernah tercatat ada scene penuh dengan mawar tanpa duri yang mengikutsertakan kalimat ini. Ini hanya sebuah pertanyaan atau pernyataan. Ada apa di dalam jarak? Apalah arti sebuah jarak? Sama seperti Anda yang akan langsung berceloteh panjang lebar tentang pentingnya sebuah nama, saya juga ingin berceloteh panjang lebar tentang jarak. Bukan dari segi kepentingannya tapi dari segi keeksisannya.

Untuk apa jarak itu eksis? Mengapa jarak harus eksis? Mengapa jarak tidak dihilangkan dari muka Bumi saja? Mustahil, saya bisa mendengar Anda menjeritkannya. Jarak eksis karena apa pun yang hidup membutuhkan jarak. Tanpa jarak, apakah Anda bisa mensyukuri tibanya sebuah paket yang telah Anda nanti-nanti dengan selamat? Apakah Anda bisa menyadari rasa lelah yang menggelayuti setelah menempuh jarak yang jauh lalu bersyukur karena bisa tiba dengan selamat? Apakah Anda bisa merasakan sensasi senangnya menelepon seseorang yang begitu jauh jaraknya? Apakah Anda bisa merasakan rindu pada seseorang yang dipisahkan oleh jarak? Dan tahukah Anda, ada pepatah mengatakan "Yang dekat akan terasa jauh, yang jauh malah terasa dekat". Dan bagaimana pepatah ini bisa muncul kalau jarak tidak pernah eksis?

What's in a distance? That which we call a far
By any other name wouldn't feel so far away

* * *

An anonym scientist made a formula: D = S x T
where D = Distance, S = Speed, and T = Time

Rumus sederhana yang biasa dijejalkan di otak anak-anak SMP. Rumus yang menyesatkan karena yang dibutuhkan untuk menghitung jarak bukan hanya kecepatan dan waktu. Bagaimana kalau ada soal cerita seperti ini: Budi menempuk jarak dari sekolah ke rumahnya selama dua jam. Kecepatan sepeda motor Budi adalah 20km/jam. Berapa jarak yang ditempuh Budi? Mungkin anak-anak SMP akan langsung menjawab, 40 km. Sebentar, sayangnya, ada yang lupa dicantumkan dalam soal tersebut. Tapi, Budi mengalami kemacetan selama satu jam. Jadi, berapa jarak yang telah ditempuh Budi? Dan tidak, saya tidak perlu jawaban Anda kecuali Anda baru saja mengukur jarak sesungguhnya yang ditempuh oleh Budi menggunakan meteran bukan kalkulator.

Saya cuma ingin mengatakan bahwa ada elemen lain yang diperlukan oleh manusia untuk menghitung jarak. Apalagi kalau yang menghitung jarak adalah manusia, bukan mesin. Manusia itu memiliki persepsi tersendiri pada apa saja yang terjadi di sekelilingnya. Siapa yang selalu mengeluhkan putaran waktu yang terlalu cepat atau terlalu lambat? Manusia. Karena bagi makhluk hidup lainnya putaran waktu itu selalu konstan, tetap, tidak pernah berubah karena tidak ada unsur percepatannya. Siapa yang menganggap bahwa suatu jarak itu jauh atau dekat? Manusia. Karena cuma manusia yang memiliki persepsi sedangkan makhluk lainnya tidak.

And I will make a formula: D = S x T + P2
where P = Perception

* * *

The distance is nothing; it is only the first step that is difficult
-Madame Marie du Duffand-