Rasanya tidak sopan kalau saya tidak menjelaskan darimana nama Cuap-Cuap ini berasal setelah tiga tahun lebih tiga bulan saya menggunakan nama ini. Jadi, biarkan saya sedikit bercerita kali ini.
Kalau Anda tanya, "Cuap-Cuap itu tentang apa sih?", "Isinya apa?", saya bakal jawab, "Nggak tahu." Serius, sampai sekarang, saya tetap nggak tahu Cuap-Cuap itu sebenarnya tentang apa. Yea, nggak tahu tapi saya pakai sebagai label post di blog saya. Karena ketidaktahuan tersebut, saya pernah bertanya-tanya pada orang lain, apa itu Cuap-Cuap. Kayak apa sih Cuap-Cuap. Pendapat kamu tentang Cuap-Cuap apa?
Nah, kata orang, itu tentang kehidupan sehari-hari. Kata yang lain, itu apaan sih, ga jelas. Kata yang lain tapi masih orang, itu tentang curhatan gitu, kan? Terus ada lagi yang bilang, itu bacaan ringan gitu deh, pembukaan doank. Lalu ada juga yang ngaku kalau dia nggak pernah baca si cuap-cuap, selalu dilewatin gara-gara ga penting abis isinya.
Intinya?
Cuap-cuap itu nggak penting.
^ bikin krik krik, asli.
Gimana nggak? Saya ditawarin, mau nggak nulis cuap-cuap. Tapi tanggapan pembaca sama itu rubrik jelek banget. Geez. Apa? Saya belum bilang ya? Iya, Cuap-Cuap itu rubrik di sebuah majalah. Majalah apa? Nanti akan disebutkan namanya, tenang saja. Jadi, saya yang dulu masih semangat-semangatnya menulis sampai menghasilkan post setiap hari tentang Reachy Ruch, ya saya terima saja tawarannya. Setelah diterima, baru tanya-tanya orang dan seperti yang sudah dikatakan di atas, saya merasa krik krik. Saat saya baca cuap-cuap para pendahulu pun saya tidak begitu menemukan intinya. Ya, ada sih intinya. Cara nulis mereka beda-beda semua. Yang dibahas dan cara pembahasannya juga beda-beda. Gimana nggak makin bingung, eh?
Bingung banget, jelas. Apalagi saya hampir nggak pernah menuliskan sesuatu yang nyerempet-nyerempet real life, kecuali untuk tugas sekolah. Di blog pun nggak pernah. Apalagi nulis pakai sudut pandang lo-gue, gw-lu, saya-Anda, aku-kamu. Tepatnya, saya nggak pernah nulis pakai sudut pandang pertama. Selalu sudut pandang ketiga. Tapi mau nggak mau, yang namanya waktu itu terus berjalan. Tiba-tiba deadline pun datang. Dan mau nggak mau, saya harus menyerahkan sebuah naskah tulisan pada sang editor.
Hasilnya?
*tertawa hampa*
Ya, anggap saja percobaan pertama, masih baru mulai, masih coba-coba. Tapi deadline kedua pun kembali datang. Hasilnya? Better. Tapi tetap nggak memuaskan saya. Lalu deadline pun terus berdatangan sampai akhirnya deadline itu berhenti mendatangi saya. Jujur, setiap naskah yang saya kirim adalah naskah coba-coba. Selalu ada yang berbeda dari satu naskah dan naskah yang lainnya. Mungkin itu kemajuan tapi bisa juga sebuah kemunduran. Yea, saya cuma iseng mencoba-coba cara menulis dari sudut pandang pertama yang berbeda-beda.
Dan apa bedanya Cuap-Cuap di majalah dengan Cuap-cuap di blog?
Nggak jauh berbeda, sebenarnya. Cuma mungkin yang di majalah agak sedikit berbobot karena target pembacanya ribuan orang. Kalau yang di blog mungkin agak terlalu random karena ya... ini toh blog saya, kan? Suka-suka saya mau nulis apa, kan? Yea, yea, egoisme seorang pemilik blog. Dan doakan saja, saya bisa membuat post lain yang jauh lebih berbobot daripada post ini.
Amin.
(credit: HimtiMagz)