Day Two - Gardener (Chapter I)

on Friday, June 04, 2010
Pagi yang cerah. Benar-benar cuaca yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu di kebun. Oh, oke, itu bukanlah pilihan tapi kewajiban. Pekerjannya sebagai tukang kebun, bagaimanapun cuacanya, dia harus menghabiskan waktunya di kebun. Tapi, cuaca yang cerah akan menambah semangatnya, jelas.

Oh, jangan dikira dia bekerja di kebun milik seorang miliuner atau bangsawan. Tidak, tentu saja. Lagipula ini memang masih di negara Jepang tapi Jepang itu luas, kau tahu? Dan kebun tempatnya bekerja terletak di perfektur paling utara di Jepang. Perfektur Soya, paling utara di Hokkaido, kalau geografimu jelek. Kebun yang menjadi tanggung jawabnya terletak di sebuah sekolah di kota Wakkanai. Oke, hentikan bicara soal geografi, karena geografinya juga jelek. Dia lebih tertarik pada biologi bagian tumbuhan, tentu saja.

Sekolah tempatnya bekerja bisa dibilang sama seperti rata-rata sekolah lainnya yang sering digambarkan di komik-komik. Bangunan lebar dengan halaman yang teramat sangat luas di depannya. Gedung sekolah ini memang sudah tua. Jadi, jangan berharap ada desain modern di sini.

Kebun yang harus diurusnya ada di belakang gedung itu. Di sampingnya, ada taman bermain untuk murid-murid sekolah. Cuma untuk murid SD kelas-kelas awal, yang badannya masih kecil, tentunya. Anak SMP apalagi SMA tidak perlu main-main dengan luncuran atau ayunan atau bola panjat, kan? Yang ada, badan-badan besar mereka akan tersangkut pada alat-alat permainan yang khusus dibuat untuk anak-anak itu.

Jadi, pagi itu dia sedang melakukan kegiatan rutinnya yaitu menyapu dedaunan kering yang terhampar di tanah. Tapi, pagi itu, kegiatan rutin itu menjadi tidak biasa ketika dia mendengar teriakan yang terdengar sangat kasar. Kalau tidak salah, berarti benar, arahnya dari taman bermain.

Penasaran? Jelas. Teriakan kasarnya memang cuma sekali. Tapi, setelah itu, kata-kata hinaan yang diucapkan dengan intonasi menyakitkan meluncur dengan volume yang cukup keras. Siapa yang tidak sakit telinga mendengar kalimat-kalimat brengsek seperti itu. Lagipula, ini sekolah, tempat di mana manusia dididik untuk menjadi seseorang yang terpelajar baik tingkah lakunya maupun otaknya. Kalimat-kalimat yang sampai sekarang masih mengudara ini benar-benar tidak pantas didengar di lingkungan sekolah!

Dia pun meninggalkan pekerjaannya sejenak dan mengintip taman bermain itu. Empat orang anak laki-laki yang badannya cukup besar. Mungkin anak SMP. Lalu, seorang anak yang badannya jauh lebih kecil dengan rambut yang, mm, biru. Anak SD mungkin. Keempat orang itu mengelilingi si rambut biru. Mendorong-dorong si rambut biru, dengan tenaga yang tidak ditahan sampai tubuh kecil itu cuma bisa mengikuti arah dorongan-dorongan itu. Caci maki pun terus terlontar.

0 comments: