Day Two - Dad (Chapter III)

on Friday, June 11, 2010
Kamisama, di mana dia?

Rasanya, dia sudah mengelilingi hampir seluruh bagian kota Wakkanai. Tidak mungkin putranya itu ada di luar kota. Pikiran itu pun langsung merasuk ke otaknya begitu saja, tanpa bisa dicegah. Mungkin. Penculikan anak-anak sudah biasa terjadi, kan? Untuk diperdagangkan. Apalagi rambut Rikkun unik. Mungkinkah—

Hentikan semua pikiran buruk itu. Rikkun pasti baik-baik saja. Tapi, sedari tadi dia sudah bertanya pada siapapun yang ditemuinya. Tapi, tak ada yang mengaku telah melihatnya. Bukankah rambut sewarna langit itu adalah hal yang cukup mencolok? Bagaimana mungkin tidak ada yang melihat? Dia juga sudah berteriak-teriak memanggil putranya sampai suaranya serak. Tapi, Rikkun tak kunjung terlihat ataupun membalas panggilannya. Kamisama.

Apakah Kau mengabulkan doaku, Kamisama?

Ketika dia menoleh, dia mendapati sosok seorang anak dengan warna rambut yang sama dengannya. Hanya saja, seragam putih bersih yang seharusnya dipakai putranya tadi pagi, sekarang sudah lenyap. Seragam itu sudah penuh noda. Warna rambutnya pun seakan dihiasi noda-noda yang amat tidak sesuai dengan birunya.

“Rikkun!”

Anak itu menoleh. Tapi, tidak ada reaksi apapun yang ditunjukkannya. Segera dia berlari dan mendapati putranya tersayang. Terkejut setengah mati mendapati wajah pucatnya yang dipenuhi luka. Seragamnya yang bukan saja dinodai oleh coklatnya tanah tapi juga bercak-bercak merah—darah? Dan tatapan apa itu? Hampa. Juga, tak ada suara apapun yang keluar dari bibir mungil yang sudah dihiasi luka. Kamisama.

Dipeluknya putranya erat-erat. Sama sekali tidak menyadari ada seorang gadis yang sedari tadi menatap mereka berdua dengan tatapan heran, seakan bertanya, apa yang terjadi sebenarnya?

“Kita pulang, yuk, Ri—“

Uhuk. Uhuk! Ohok! OHOK!

Awalnya cuma batuk-batuk kecil. Dibelainya punggung putranya dengan lembut, berusaha menenangkan. Tapi, frekuensi batuk itu sama sekali tidak berkurang. Lama kelamaan semakin menjadi-jadi. Dan bercak merah itu menyembur begitu saja dari mulut putranya.

“Rikkun? Hei—“

Wajahnya sudah pucat, terlalu pucat malah. Ekspresi kesakitan terlihat jelas di sana. Nafasnya pun tersengal-sengal. Digendongnya putranya segera. Berlari menuju rumah sakit. Apa yang terjadi? Kamisama. Dia baru lima tahun. Apa yang sedang kau rencanakan pada tubuh mungil ini, Kamisama? Cobaan seberat apa yang Kau berikan, Kamisama?

0 comments: