I'll Wait Forever

on Friday, April 01, 2011
Ia suka komet.

Kata om Google dan tante Wiki, komet adalah sebuah model web aplikasi di mana permintaan HTTP yang sudah lama dipegang, mengizinkan sebuah web server untuk mendorong data ke browser, tanpa browser memintanya secara eksplisit. Tapi bukan komet itu yang ia sukai. Komet yang ia sukai terdiri dari campuran es (air dan gas yang membeku) dan debu yang tidak menjadi planet ketika tata surya terbentuk. Komet yang memiliki orbitnya sendiri dan hanya bisa terlihat saat berada di dekat matahari. Terkadang tak terlihat selama beberapa milenium, tapi ada beberapa yang terlihat hanya dalam waktu seabad. Perjalanan jauh ditempuhnya, jutaan tahun cahaya dilaluinya.

Itu, komet yang ia sukai.

Dan ia, ia yang tak bisa berpindah tempat. Ia yang hanya bisa menunggu. Ia yang hanya bisa menatap langit, menunggu datangnya sang komet. Ia diam dengan sabar, tak pernah mengeluh, dan tak pernah menuntut. Ia tahu, sang komet akan datang suatu saat. Ia tahu, penantiannya takkan sia-sia.

Tapi tahukah kau, ada berapa banyak benda langit yang berkelap-kelip riang?

Tak tahu? Coba tengoklah langit yang dengan setia menaungimu setiap saat. Ketika siang hari, indera penglihatanmu hanya akan dibutakan oleh cahaya matahari yang bersinar ceria. Tak ada kerlipan riang yang menonjol dan membuatmu jatuh hati. Kau menatap langit siang dengan wajah cemberut, kecewa. Tapi tunggulah beberapa saat lagi ketika langit sudah menggelap. Sekarang lihatlah pada kekelaman malam yang biasanya tak kau sukai. Kerlipan cahaya terlihat dimana-mana. Menara pemancar, kerlipan lampu di sayap burung besi yang bergerak lamban, kerlipan lain di gedung-gedung tinggi pemecah rekor dunia. Seakan belum cukup, masih ada cahaya artifisial lainnya yang menampilkan warna-warni semarak dan ditunggu oleh tiap orang. Kembang api, begitu mereka menyebutnya. Kau pun terpana tapi kerlipan cahaya itu hanya sesaat. Dan tahukah kau? Ada cahaya lain, cahaya yang lebih riang dan lebih tahan lama. Tataplah kembali langit malammu, pandanglah bintang-bintang yang tak pernah berhenti memancarkan cahayanya. Mereka cantik, kan?

Berjuta pilihan di sisiku
Takkan bisa menggantikanmu

Dan tahukah kau bahwa itu tak mudah?

Langit takkan selamanya secerah malam ini. Awan yang berarak, petir yang menyambar, kilat yang menyala, titik-titik air yang turun, dan semua keindahan malam pun tak lagi terlihat. Begitu juga dengan sang komet. Ia gelisah tapi ia tahu, sang komet takkan memilih saat yang buruk untuk menghampirinya.

Walau badai menerpa
Cintaku takkan ku lepas

Lalu berapa lama penantian yang harus dilaluinya?

Ia tak tahu. Sering ia mencoba menghitung waktu yang berlalu sedemikian lambat tapi dengan segera hitungannya terlupakan. Ketika ia ingin mencoba lagi, alam menghapus hitungannya. Ia tak menyerah, ia terus mencoba walaupun ia tahu itu sia-sia. Hanya sekadar kegiatan untuk membunuh sang waktu yang begitu kejam.

Ku akan menanti
Meski harus penantian panjang
Ku akan tetap setia menunggumu
Ku tahu kau hanya untukku

* * *

Dan mengapa kau begitu menungguku, hai bunga?

Aku takkan pernah sanggup menghampirimu. Aku takkan pernah... takkan pernah bisa sekeras apapun aku berusaha. Tahukah kau, aku memikirkanmu. Aku mengasihanimu. Karena aku tahu betapa sia-sianya penantianmu. Dalam perjalananku, aku melihat banyak hal. Banyak hal yang mengingatkanku pada dirimu. Bintang-bintang yang bercahaya, satelit yang memantulkan cahaya, planet-planet, sahabat-sahabat kometku yang mengorbit tanpa henti. Kau tahu, aku sering menitipkan pesan pada mereka. Kataku, terangilah malam, ramaikanlah malam supaya kau tak kesepian. Jangan biarkan awan menghalangi kilau cahaya kalian. Dan mereka selalu menyampaikan hal yang sama padaku.

Mereka mengasihanimu.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tak sabar menunggu saat aku bisa menengokmu, saat aku bisa melihatmu, bersinggungan dengan atmosfer untuk menampilkan cahayaku. Aku ingin memberitahumu bahwa aku di sini, selalu memikirkanmu di setiap detik cahaya. Tapi aku juga ingin mengatakan padamu untuk berhenti menantiku. Mampukah aku? Mampukah aku menghapus diriku sendiri dari setiap detikmu? Karena ketika saatku tiba untuk menjengukmu, aku tak sanggup menahan kegembiraan saat melihatmu. Cahayaku lebih terang dan kau pun terlihat gembira. Penantian panjangmu akan segera berakhir, mungkin itu pikirmu. Tapi tidak, hai bunga, aku hanya lewat dan takkan pernah singgah sampai kapanpun.

Lalu semuanya terulang lagi.

Semua penantianmu yang sia-sia.

Dan aku pun tak sanggup. Kukatakan pada meteor, maukah ia menemanimu? Kau tahu betapa sakitnya aku saat kudengar meteor mengiyakan permintaanku? Aku tak rela melihatmu ditemani oleh yang lain. Aku tak rela melepaskanmu. Aku tak sanggup untuk memberikanmu pada yang lain. Tapi tidak, aku akan bertahan dan aku menatap sang meteor yang menghampirimu. Aku tahu, kau akan mengucapkan permohonanmu cepat-cepat, takut sang meteor lenyap sebelum permohonanmu selesai diucapkan. Tapi kali ini tak perlu, hai bunga.

Karena sang meteor akan menemanimu, selamanya.

Dan kau akan menjadi setangkai bunga yang ditemani oleh bintang jatuh. Bunga Bintangku satu-satunya.


Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Comet_(programming)
http://nineplanets.org/comets.html

Credit:
Nikita Willy – Kutetap Menanti

0 comments: