Shakespeare said, "What's in a name?"
And I will say, "What's in a distance?"
Siapa yang tidak pernah mendengar sebait pertanyaan "Apalah arti sebuah nama?" yang diucapkan Juliet pada Romeo? Hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti pernah mendengarnya, ditambah lagi dengan seringnya penggunaan quote tersebut di berbagai macam media. Dan mungkin, ketika Anda mendengar pertanyaan tersebut, secara spontan Anda akan menjawab bahwa nama itu penting. Bahwa tanpa nama, kita tidak bisa menyebut sesuatu baik makhluk hidup maupun benda mati dengan mudah. Tanpa nama, kita tidak akan memiliki label. Yea, nama itu cuma label. Sounds like peyorasi, eh?
Tapi bukan itu yang ingin saya bahas. Bukan tentang nama, tapi tentang jarak. Tidak pernah ada serentet kalimat seperti betapa tidak pentingnya jarak antar bunga yang satu dengan yang lain yang mengikuti pertanyaan "What's in a distance?" Juga tidak pernah tercatat ada scene penuh dengan mawar tanpa duri yang mengikutsertakan kalimat ini. Ini hanya sebuah pertanyaan atau pernyataan. Ada apa di dalam jarak? Apalah arti sebuah jarak? Sama seperti Anda yang akan langsung berceloteh panjang lebar tentang pentingnya sebuah nama, saya juga ingin berceloteh panjang lebar tentang jarak. Bukan dari segi kepentingannya tapi dari segi keeksisannya.
Untuk apa jarak itu eksis? Mengapa jarak harus eksis? Mengapa jarak tidak dihilangkan dari muka Bumi saja? Mustahil, saya bisa mendengar Anda menjeritkannya. Jarak eksis karena apa pun yang hidup membutuhkan jarak. Tanpa jarak, apakah Anda bisa mensyukuri tibanya sebuah paket yang telah Anda nanti-nanti dengan selamat? Apakah Anda bisa menyadari rasa lelah yang menggelayuti setelah menempuh jarak yang jauh lalu bersyukur karena bisa tiba dengan selamat? Apakah Anda bisa merasakan sensasi senangnya menelepon seseorang yang begitu jauh jaraknya? Apakah Anda bisa merasakan rindu pada seseorang yang dipisahkan oleh jarak? Dan tahukah Anda, ada pepatah mengatakan "Yang dekat akan terasa jauh, yang jauh malah terasa dekat". Dan bagaimana pepatah ini bisa muncul kalau jarak tidak pernah eksis?
What's in a distance? That which we call a far
By any other name wouldn't feel so far away
* * *
An anonym scientist made a formula: D = S x T
where D = Distance, S = Speed, and T = Time
Rumus sederhana yang biasa dijejalkan di otak anak-anak SMP. Rumus yang menyesatkan karena yang dibutuhkan untuk menghitung jarak bukan hanya kecepatan dan waktu. Bagaimana kalau ada soal cerita seperti ini: Budi menempuk jarak dari sekolah ke rumahnya selama dua jam. Kecepatan sepeda motor Budi adalah 20km/jam. Berapa jarak yang ditempuh Budi? Mungkin anak-anak SMP akan langsung menjawab, 40 km. Sebentar, sayangnya, ada yang lupa dicantumkan dalam soal tersebut. Tapi, Budi mengalami kemacetan selama satu jam. Jadi, berapa jarak yang telah ditempuh Budi? Dan tidak, saya tidak perlu jawaban Anda kecuali Anda baru saja mengukur jarak sesungguhnya yang ditempuh oleh Budi menggunakan meteran bukan kalkulator.
Saya cuma ingin mengatakan bahwa ada elemen lain yang diperlukan oleh manusia untuk menghitung jarak. Apalagi kalau yang menghitung jarak adalah manusia, bukan mesin. Manusia itu memiliki persepsi tersendiri pada apa saja yang terjadi di sekelilingnya. Siapa yang selalu mengeluhkan putaran waktu yang terlalu cepat atau terlalu lambat? Manusia. Karena bagi makhluk hidup lainnya putaran waktu itu selalu konstan, tetap, tidak pernah berubah karena tidak ada unsur percepatannya. Siapa yang menganggap bahwa suatu jarak itu jauh atau dekat? Manusia. Karena cuma manusia yang memiliki persepsi sedangkan makhluk lainnya tidak.
And I will make a formula: D = S x T + P2
where P = Perception
* * *
The distance is nothing; it is only the first step that is difficult
-Madame Marie du Duffand-