Farewell (Part II)

on Saturday, October 30, 2010
“Tidak makan malam, Resse?”

Dua bulan sudah berlalu sejak kematian Rev. Kematian yang aneh karena tidak jelas penyebabnya. Kematian yang datang begitu tiba-tiba tanpa peringatan apapun. Dewa kematian seakan merenggut nyawa Rev seketika, tepat di depan mataku, Ruth, dan puluhan anak-anak panti asuhan lainnya, tidak mengizinkan adanya kata perpisahan apapun. Padahal, detik sebelumnya, kami masih tertawa bersama melihat Ruth yang didandani ala penari India dan menari berputar-putar mengelilingi pohon.

“Tidak lapar.”

Entah sudah berapa lama aku duduk meringkuk di lantai beranda di sisi lapangan. Kaki tertekuk, kedua lengan memeluk kaki, dan wajah terbenam dalam lipatan lenganku. Lapangan di depanku kosong karena ini adalah jam makan malam. Serpihan salju terus turun sejak beberapa jam yang lalu. Tapi, aku seakan tak peduli. Aku juga takkan mengangkat kepalaku kalau tidak ada selimut yang tiba-tiba membungkus tubuhku dan sebuah sapaan sekaligus pertanyaan dengan suara yang berat tapi menenangkan.

“Sudah dua bulan berlalu dan kau benar-benar sudah berjuang keras, eh, Resse? Panti asuhan tidak lagi sesuram dulu. Anak-anak juga sudah bisa bermain dengan keriangan mereka masing-masing. Semua seakan sudah mulai melepaskan diri dari masa berkabung dan mencoba bangkit kembali untuk menjalani hidup dan rutinitas yang normal seperti sebelumnya. Semuanya terlihat baik-baik saja. Berkat kau yang setiap hari berkeras mengajak mereka bermain dan berbagi keceriaan. Tapi... apa kau baik-baik saja, Resse?”

“Aku baik-baik saja, Mr Phillipe.”

“Boleh tanya kalau begitu? Kenapa kau tidak menangis? Aku tahu kau terkejut. Sangat terkejut dan tidak percaya. Tapi, tidak seperti yang lain, kau tidak menangis. Bahkan aku yang sudah sebegini tua pun, menangis. Kenapa kau yang masih sangat muda, kau yang merupakan sahabat terdekatnya, malah tidak menangis?”

“Haruskah?”

Aku mendongak, menatap wajah seorang pria yang sudah dipenuhi guratan-guratan, tanda dimakan usia. Rambutnya yang sudah hampir semuanya berwarna kelabu disisir rapi ke belakang. Sebuah kacamata bulat menudungi sepasang mata biru cemerlang. Bibir pria itu tampak selalu tersenyum walaupun mungkin, sebenarnya tidak. Aura ketenangan selalu terpancar dari Mr Phillipe, membuatku selalu merasa tenang, segundah apapun aku.

“Itu sebuah hukum tak tertulis, menurutku. Tuhan menciptakan air mata bukan hanya untuk membasahi mata dan menjalankan fungsi biologis lainnya. Tapi, juga sebagai sarana untuk manusia, untuk menumpahkan perasaan mereka. Dan Tuhan tidak memberikan air mata hanya untuk perempuan. Tuhan juga memberikan air mata pada laki-laki dengan fungsi yang sama. Apa salahnya kalau laki-laki menangis? Apa salahnya kalau anak laki-laki menangis, Resse?”

Aku menggeliat bangkit, berdiri di atas dua kaki pendekku, membiarkan selimut yang menudungi tubuhku jatuh begitu saja. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku celanaku, melindunginya dari hawa dingin yang tiba-tiba terasa semakin mendingin. Tatapanku terarah pada butiran-butiran salju yang terus jatuh, tidak berminat menatap pria tua yang pasti sedang menatap punggung kecilku, mengharapkan respon apapun dari anak laki-laki berambut pirang dengan poni sebatas alis ini.

“Salahkah kalau aku bisa melepas kepergiannya tanpa menangis, Mr Phillipe? Bukankah katanya, di film-film, orang yang sudah meninggal tidak suka kalau dilepas dengan tangisan? Katanya, air mata membuat mereka tidak tenang untuk pergi, membuat arwah mereka gentayangan tak bisa pulang ke tempat mereka. Aku hanya ingin membuat Rev tenang, di manapun dia berada.”

Sesuatu memberati kepalaku. Mr Phillipe telah berdiri di sisiku dengan tangannya yang besar membelai pelan rambut pirangku.

“Kurasa, Rev tetap takkan tenang kalau melihatmu seperti ini, Resse.”

“Seperti ini bagaimana? Aku baik-baik saja dan Rev bisa tenang.”

Hening sejenak. Mungkin Mr Phillipe sedang mencari cara untuk memancing emosiku keluar. Mungkin Mr Phillipe heran mengapa aku tetap keras kepala dan masih sulit untuk dibujuk. Entahlah. Yang pasti, aku memang merasa kacau belakangan ini. Awalnya, aku baik-baik saja. Aku masih bisa mengajak dan memaksa anak-anak untuk bermain dan bangkit dari masa duka mereka. Tapi, ketika anak-anak sudah kembali ceria, aku malah merasa ada sesuatu yang hilang. Aku sering lihat di film-film, seseorang yang sudah ditinggal pergi oleh orang yang mereka sayangi, sering lupa kalau orang tersebut sudah meninggal, sudah tak mungkin ada di sisi mereka. Kukira, aku takkan jadi seperti itu. Kukira, aku akan selalu sadar bahwa Rev sudah tak ada di sisiku. Tapi nyatanya, aku sering terbangun dan melongok tempat tidur Rev, ingin membangunkannya. Aku juga pernah meminta pendapat Rev ketika sedang memodifikasi sebuah permainan, membuat suasana ceria yang sudah kubangun susah payah, kembali suram. Dan masih banyak lagi. Aku tetap tidak bisa mengingat bahwa dia telah pergi untuk selamanya. Benar-benar selamanya.

“Bagaimana kalau Rev sendiri yang memberitahuku bahwa dia tidak bisa pulang karena dia mencemaskanmu, Resse?”

Aku menatap pria di sisiku dengan tatapan skeptis.

“Memangnya, Mr Phillipe bisa melihat arwah atau roh?”

“Biasanya, tidak. Tapi, mungkin kan, arwah seseorang yang begitu tidak tenang, memutuskan untuk memunculkan diri, supaya bisa memberitahukan permasalahannya?”

“Kenapa dia tidak memunculkan diri padaku?”

“Entahlah.”

“Tanyakan padanya. Dan bilang padanya, pulang sana. Aku baik-baik saja, tidak perlu dicemaskan.”

“Dia sudah mendengarmu dan dia... tak ingin membuatmu makin tak bisa melepas dirinya.”

Tatapan skeptisku berubah kesal. Kusingkirkan tangan Mr Phillipe yang masih ada di atas kepalaku. Aku berbalik dan melangkah sepanjang aku bisa menuju pintu. Aku tidak ingin makan malam, tidak ingin bermain, tidak ingin menemui anak-anak lainnya. Aku hanya ingin lepas dari Mr Phillipe sekarang. Yeah, Mr Phillipe berhasil. Emosiku naik. Aku marah, aku kesal—

Tarikan yang kuat di lenganku menghentikan langkahku, memaksaku berbalik dan kembali menatap Mr Phillipe, yang sudah berlutut di depanku sehingga mata kami sejajar. “Resse, kita selesaikan di sini, oke?”

—dan aku capek.

“Selesaikan apa?”

“Topengmu. Lepas, Resse. Sekarang.”

“Topeng apa, Mr Phillipe? Ini mukaku yang bia—”

Telapak tangan kanan Mr Phillipe yang begitu besar telah melekat di wajahku, menciptakan kegelapan di area pandangku. Tidak. Jemari mungilku berusaha menarik-narik tangan besar itu, mencoba melepaskannya. Tidak mau. Tapi, semakin aku berusaha, telapak tangan itu malah semakin kencang dan ujung-ujung jemarinya serasa mencengkeram wajahku, seakan ingin menarik lepas sesuatu yang menghalangi wajahku.

AKU TIDAK MAU!

Ketika perjuanganku melepaskan tangan besar itu mulai melemah, Mr Phillipe malah mengendurkan cengkeramannya. Dan bagaikan sihir, sesuatu yang kupendam jauh dan dalam serta entah di mana, menyeruak keluar. Menindih yang lainnya dan berjuang untuk tampil di paling depan. Berjuang untuk mendominasi emosiku dan menunjukkannya pada siapapun.

Jangan, kumo—

Tangan besar itu pun lenyap. Cahaya remang-remang kembali memasuki mataku. Tapi, penglihatanku sudah tak sejelas tadi. Ada yang menghalangi, menyebabkan semuanya buram dan tak jelas. Aku tahu apa itu. Air mata. Tanganku bergerak naik, mencoba menghapus atau sekadar menutupinya. Tidak, tidak boleh menangis. Tapi, Mr Phillipe lebih cepat. Kedua pergelangan tanganku dihentikan lajunya dan air mata pun terjatuh.

Aku meronta.

Aku tidak mau menangis! Tidak boleh! Laki-laki tidak boleh menangis. Resse tidak boleh menangis. Tidak boleh atau Mr Phillipe akan kecewa. Resse harus selalu ceria. Tidak boleh sedih. Tidak boleh suram. Tidak boleh, tidak boleh hanya karena Rev meninggal, aku jadi kacau. Rev hanya satu dari sekian anak yang pergi untuk selamanya. Nanti, pasti ada gantinya. Nanti, pasti akan ada Rev yang lain. Nanti, pasti—

Tubuh mungilku ditarik dan langsung terbenam dalam pelukan Mr Phillipe.

kenapa harus Rev?

Ya, aku menangis. Aku terisak. Membiarkan rentetan pertanyaan yang diawali dengan ‘mengapa’ mengalir keluar dari mulutku. Menyingkirkan semua keceriaan—atau topeng seperti kata Mr Phillipe­—menggantinya dengan ekspresi yang sudah kupendam selama hampir dua bulan lamanya. Membiarkan emosiku yang selalu tertata rapi, diacak-acak. Semuanya kucurahkan. Benar kata Mr Phillipe, aku tidak bisa seperti tadi terus-menerus. Suatu saat, aku akan mencapai batasnya. Suatu saat, aku akan begitu tidak mengerti terhadap apapun. Suatu saat, aku akan merasa lelah walaupun hanya untuk tersenyum.

Karena aku hanya anak laki-laki berusia sepuluh tahun.

* * *

0 comments: