“Jadi, kau memilih pergi? Ke dunia yang kau anggap kebohongan semu itu?”
Setengah tahun telah berlalu sejak kejadian di beranda lapangan. Aku masih sibuk mengepak barang-barangku yang hanya sedikit ke dalam sebuah tas, ketika pertanyaan yang dilontarkan dengan nada kejengkelan tingkat tinggi itu terdengar olehku. Ya, siapa lagi kalau bukan Ruth? Sahabatku sekaligus lawanku bertengkar setengah tahun terakhir ini. Bedanya, kami jadi lebih sering benar-benar bersitegang dan menjurus ke pertengkaran karena tidak ada Rev yang akan mendamaikan kami secepat mungkin. Yah, sejak kematian Rev, hubungan kami memang memburuk. Ruth masih marah karena aku tidak menunjukkan kesedihan apapun. Mr Phillipe, atas paksaan dariku, menyembunyikan fakta bahwa aku pernah menangis, tentu saja.
Tersenyum manis-semi-menyebalkan seperti biasa, “Iya, kenapa? Sudah kangen?”
“Hihhh! Siapa juga yang kangen! Cuma tanya kok!”
“Oh, cuma tanya.”
Aku pura-pura tidak mempedulikan pipinya yang sudah menggembung kesal dan kembali menyibukkan diri dengan barang-barangku. Keheningan menyelimuti kamar laki-laki yang sudah kudiami selama sebelas tahun lebih tiga bulan atau setara dengan umurku sekarang. Ruth yang tidak bicara lagi dan aku yang malah pura-pura menyibukkan diri.
“Kenapa pergi? Bukannya dulu kita pernah berjanji untuk terus bersama sampai mati? Rev ma—pergi, bukan berarti perjanjian itu bubar, kan?”
Biarpun Ruth bodoh, entah mengapa, aku tahu, pertanyaan ini akan datang cepat atau lambat. Mengapa aku akhirnya memutuskan untuk keluar dari panti asuhan dan bersekolah di sebuah negeri dongeng. Dunia sihir yang tidak pernah terbukti kebenarannya dan aku sendiri tidak pernah percaya kalau sihir itu ada. Tapi, aku malah memutuskan untuk bersekolah di sana alih-alih mulai bekerja atau melanjutkan pendidikanku secara normal. Ya, aku benar-benar memilih Hogwarts.
“Aku bosan melihatmu, Ruth. Makin hari, kok makin jelek.”
“Serius, Resse!”
“Memangnya, kalau aku bicara serius, kau bisa mengerti? Nanti malah pusing tu—“
Ruth melotot. Cengiran lebar di bibirku pun otomatis memudar sedikit.
“—oke, oke. Karena kurasa, lebih baik kita berpisah dulu, Ruth. Lagipula, kita masih bisa bertemu setiap liburan musim panas. Kalau kau kangen—iya, iya! Tidak usah pukul-pukul. Itu serius—bagian kita berpisahnya.”
Tampang Ruth masih saja terlihat kesal. Yah, maklum, dia jadi sendirian, kan?
“Kau memang jahat, Resse.”
“Iya, jahat. Khusus padamu.”
“....”
“Nah, baik-baik, ya. Semoga waktu kita bertemu lagi, kau jadi tambah pintar dan akan kutunjukkan padamu sihir-sihirku—”
“Kau benar-benar jahat.”
“...”
“Dan kenapa kau jadi pendiam begini? Biasanya cerewet menyebalkan.”
“Bukannya kau yang cerewet?”
Dan perbincangan tak penting itu masih terus berlanjut dan baru berakhir ketika sudah benar-benar tiba saatnya aku berangkat. Menuju London, kota yang bermil-mil jauhnya dari sini. Kota yang tak pernah kukunjungi walaupun dalam mimpi. Mr Phillipe dan Mrs Jane, yang sangat mendukung pilihanku ini mengantarkanku ke stasiun sambil memberikan banyak nasihat. Anak-anak yang lain, melambai-lambaikan tangan mereka dengan riang alih-alih berwajah suram karena mereka sangat berharap kalau aku akan mengirimkan cerita tentang dunia sihir secara berkala. Lalu, Ruth, pipinya masih menggembung waktu aku terakhir melihatnya. Jelas anak perempuan itu masih kesal dan aku cuma bisa melambai riang padanya. Tak bisa melakukan apapun lagi untuk hanya sekadar menghiburnya atau malah membuat pipinya semakin menggembung.
Tapi, yang pasti, aku akan kembali.
So, farewell ‘till we meet again.
* * *