Kepada keluarganya saja, dia hanya memberikan reaksi seadanya. Bukan seadanya, sebenarnya. Semampunya. Ya, Rikkun cuma seorang anak lima tahun ketika semua itu terjadi. Tak bisa dipungkiri, kalau peristiwa itu menorehkan trauma yang dalam. Sikap Rikkun sekarang sudah jauh lebih baik daripada dulu, saat dia baru keluar dari rumah sakit. Dia seakan merasa asing pada keluarganya sendiri. Pada adiknya yang berteriak-teriak minta gendong. Pada ibunya yang selalu memanggilnya dengan lemah lembut. Bahkan pada ayahnya, pada siapa anak itu paling banyak bercerita dulu.
Dia menghargai semua usaha Rikkun sampai saat ini. Anak itu berusaha keras untuk membaur dengan keluarganya. Ya, dia bisa merasakan hal itu. Anak itu mencoba menuruti permintaan Ricchan untuk bermain bersama dengan teman-temannya. Dia sadar, anak itu takut, kalau-kalau hal yang sama terjadi lagi. Tapi, dia toh mencobanya. Putranya itu juga mencoba lebih banyak berbincang-bincang dengan ibunya. Walaupun istrinya yang memang pada dasarnya cerewet itulah yang lebih sering bicara. Rikkun cuma mendengarkan sambil sesekali menimpali.
Dan pada ayahnya, Rikkun mencoba lebih jujur dalam menceritakan apa yang dirasakannya. Dia selalu menegaskan pada putranya itu, kalau tidak suka, bilang. Jangan pasrah. Memang sulit menerapkan hal itu di lingkungan sosialnya. Karena itu, dia memaksa putranya itu untuk berlaku seperti itu di rumah, pada keluarganya sendiri. Dia tidak ingin dibohongi anaknya sendiri. Ingin tahu apa saja yang terjadi pada anaknya. Ingin tahu, apa saja yang dirasakan anaknya.
Seperti alasan mengapa Rikkun tidak langsung pulang setelah dianiaya sembilan tahun yang lalu. Mungkin tidak akan separah itu akibatnya. Butuh waktu bagi putranya itu untuk jujur. Anak itu baru mau mengatakannya setelah suaranya benar-benar kembali normal. Katanya, dia takut dimarahi. Pulang cepat, seragam kotor, wajah berantakan, tenggorokan sakit. Kamisama. Bolehkah seorang ayah menangis menggantikan anak laki-lakinya yang entah sok kuat atau terlalu tabah atau mungkin terlalu apatis sampai tidak pernah menunjukkan air matanya pada keluarganya sendiri?
Oyaji?
Mm? Dia baru menyadari bahwa dia sedang duduk memeluk putranya di serambi belakang sambil melihat bintang. “Ya, Rikkun?”
Rikkun memberikan tatapan kesalnya karena semua ocehannya yang jarang terdengar itu, tidak ada satupun yang ditanggapi ayahnya. Tidur ah, Oyaji ngelamun, katanya sambil menyandarkan tubuh mungilnya pada tubuh besar ayahnya. Kelopak matanya pun menutup.
“Maaf.” Dikecupnya kening putranya dengan sayang. “Tidur di dalam, oke?” Digendongnya tubuh mungil itu. Seperti biasa, Rikkun tidak menolak malah merangkulkan lengannya ke leher ayahnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment