Dia segera bersiap ke rumah sakit. Tidak peduli bahwa kaos yang dipakainya terbalik. Tidak peduli pada potongan-potongan wortel yang terhampar di meja, menunggu minta direbus. Ya, apa yang bisa dipedulikannya lagi? Tidak ada apapun yang mampu merasuk ke dalam otaknya lagi, selain putranya. Rikkun. Dan Ricchan, tentu saja. Digendongnya putrinya itu dan dia segera bergegas menuju rumah sakit.
* * *
Sudah dua jam berlalu sejak operasi untuk mengeluarkan kerikil di tenggorokan Rikkun selesai. Kesadaran Rikkun juga baru saja kembali. Seharusnya, semuanya akan kembali baik-baik saja. Masa kritis atau masa apapun sudah berhasil dilewati putranya. Seharusnya, dia akan mendapati tatapan kesal atau tatapan sinis Rikkun karena kedua orang tuanya tidak ada saat dia butuh bantuan. Seharusnya, suaminya akan mampu menertawakan Rikkun yang tak mampu bersuara. Keceriaan yang biasa. Tapi, tak ada satupun yang terjadi.
Semuanya harapannya seakan lenyap begitu saja ketika kesadaran telah kembali pada tubuh mungil itu. Tarikan napas yang pertama membuat jemari-jemari kecilnya mencengkeram kain selimutnya erat-erat. Kedua pelupuk matanya terpejam semakin erat, menahan rasa sakit yang muncul. Mulutnya membuka dan memaksa udara masuk, dengan hasil cengkeraman yang semakin erat. Belaian, genggaman tangan, dan kecupan sudah dicurahkan olehnya dan suaminya pada tubuh mungil itu. Berusaha keras mengurangi rasa sakit yang sedang diderita putranya.
Ketika akhirnya sepasang mata itu terbuka, tidak ada tatapan kesal atau bahagia atau sinis. Yang ada hanyalah kehampaan dan rasa sakit yang menyengat. Rikkun seakan tidak mengenali siapa saja yang ada di sekitarnya. Tidak ada senyum lemah atau reaksi apapun ketika melihat orang tuanya atau Ricchan. Tatapan itu seakan tak memiliki fokus atau menolak menemukan fokusnya.
Ingin rasanya menangis dan menjerit keras. Dadanya sakit. Ibu mana yang tahan melihat anaknya menjadi seperti ini? Rikkun yang pendiam tapi tatapannya selalu menyiratkan apa yang dirasakannya. Rikkun yang tersenyum dan tertawa ketika melihat tingkah konyol ayahnya. Rikkun yang suka kesal ketika dipermainkan ayahnya dan diributi adiknya.
Air matanya mulai mengalir dan tak bisa dihentikan lagi ketika kesadaran itu merasukinya begitu saja. Rikkun yang dulu telah lenyap tak berbekas. Tidak ada yang baik-baik saja. Walaupun suara kekanak-kanakan putranya akan kembali setelah beberapa bulan. Walaupun semua luka-luka di tubuhnya akan lenyap, Rikkun takkan pernah lagi sama. Karena peristiwa yang dialaminya tidak hanya melukai fisiknya tapi juga jiwanya, mentalnya.
0 comments:
Post a Comment