Ngomong-ngomong, cerahnya langit hari ini sudah menyerupai warna rambutnya. Warna yang indah sekaligus menyedihkan, menurutnya. Dia cuma bisa berharap nasib yang menimpanya dulu, takkan terulang pada Rikkun. Dikucilkan oleh masyarakat. Lagipula, dibandingkan dengan zamannya dulu yang tradisi dan budayanya masih teramat kental, zaman sekarang warna rambut yang tidak hitam, sudah mulai bisa ditolerir. Walaupun rata-rata warna yang masih bisa ditolerir adalah pirang atau coklat atau merah. Biru masih bukanlah warna yang lazim. Oke, sebenarnya, bukan warna biru penyebabnya dikucilkan. Darah silumanlah penyebabnya. Masyarakat takut entah pada apa.
Seharusnya, sekolah hari kedua akan berakhir pada pukul 12 siang. Tidak terlalu siang karena ini masih hari kedua dan mereka toh masih anak-anak berusia lima sampa enam tahun. Sekolah saja pasti lebih banyak main-mainnya. Kalau lama-lama, kasihan juga gurunya mengurus puluhan anak kecil yang biasanya hiperaktif.
Sebagai ayah yang baik, tentu saja dia pergi menjemput putranya itu. Dia malah sudah datang sebelum jam 12. Sama sekali tidak ingin membuat putranya itu menunggu. Tidak sabar menanti cerita yang pastinya amat singkat meluncur dari bibir putranya. Sudah mendapat temankah putranya? Atau mungkin, sudah ada anak perempuan yang mengajak putranya kenalan? Biasanya anak perempuan suka yang lucu-lucu, kan? Dan rambut biru sewarna langit pasti termasuk lucu!
Tapi, kenyataan berkata lain. Seakan nasib tak ingin berpihak padanya sedikitpun. Putranya, yang memiliki warna rambut sama dengannya, tidak terlihat di manapun. Dia sudah berkeliling ke seluruh sekolah, bahkan kamar mandi, tapi hasilnya nihil. Anak itu tidak terlihat sama sekali. Guru-guru atau orang tua murid atau murid-murid yang ditemuinya pun tidak ada yang memberikan informasi yang berarti.
Kamisama, ke mana anak itu? Anak yang patuh itu. Tidak mungkin dia pulang sendiri. Tadi pagi saat dia melepaskan putranya itu untuk memasuki gedung sekolah, dia sudah berjanji akan menjemput saat pulang sekolah. Tolong jaga anak itu, Kamisama. Jangan sampai ada sesuatu yang buruk menimpanya. Tidak, jangan anak itu.
Dia takut, apa yang dialaminya dulu akan terulang lagi. Bagaimana kalau anak yang pendiam itu ditindas oleh seniornya? Ah, mampukah anak itu bertahan? Mampukah mentalnya bertahan? Rikkun tidak punya keceriaan yang biasanya dibutuhkan untuk bertahan. Tidak, dia sendiri bahkan tidak tahu apa yang ada di pikiran putranya itu. Kamisama, lindungi Rikkun, tolong.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment