Itu adalah kisah enam tahun yang lalu. Ketika putranya pertama kali ditindas oleh masyarakat dan harus berakhir di rumah sakit. Kesakitan untuk hanya sekadar bernapas. Kehilangan suara selama beberapa bulan. Fatal akibatnya untuk seorang anak-anak berusia lima tahun.
Dia masih ingat tatapan macam apa yang diberikan putranya ketika dia bersama istrinya dan Ricchan datang mengunjunginya. Tidak ada kebencian dalam bola mata coklat itu. Cuma ada kehampaan. Kosong. Dia menatap keluarganya sendiri seakan menatap orang asing. Istrinya sudah tidak tahan melihat darah dagingnya memberikan tatapan seperti itu. Hari pertama, kunjungan wanita itu ke rumah sakit, hari itu pula dia menangis tanpa henti di sisi tempat tidur Rikkun. Tapi, tak ada perubahan apapun pada tatapan Rikkun. Hampa.
Suaranya yang masih kekanak-kanakan pun hampir tak pernah terdengar lagi. Untuk meminta pertolongan seperti minta diantar ke kamar kecil atau untuk mandi, hanya dilakukannya dengan bahasa isyarat. Suara manisnya hanya terdengar ketika kesakitan yang tak tertahankan menyerangnya. Suara itupun tak lebih dari sekadar bisikan, lenguhan kesakitan.
Orang tua mana yang tahan menatap penderitaan anaknya? Sering kali, dia melihat putranya mencengkeram erat selimutnya, menahan sakit. Terpaksa bernafas lewat mulut walaupun itu hanya mengurangi sedikit dari rasa sakitnya. Kamisama.
Semua itu masih tergambar dengan jelas di otaknya. Teramat sangat jelas karena dia tak ingin melupakannya. Penderitaan putranya. Hanya karena beberapa orang seniornya benci melihat warna rambutnya yang teramat sangat berbeda. Tidak ada yang mengaku sampai sekarang, siapa saja yang melakukan hal itu pada putranya. Begitu juga dengan Rikkun, dia seperti tidak berminat pada senior-senior yang membuat pandangannya terhadap masyarakat berubah.
Apalagi ketika berita itu muncul, entah darimana. Berita bahwa rambut biru adalah lambang pewaris darah siluman. Entah siluman apa, tak ada yang tahu. Masyarakat hanya tahu, wujud siluman mereka adalah makhluk buas yang tak berperikemanusiaan. Hanya karena kisah yang tak jelas darimana asalnya itu, Rikkun benar-benar kehilangan semua masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan tawa keceriaan itu. Tidak ada satupun anak yang mau berteman dengannya. Hanya sekadar berkenalan, masih tak apa. Berteman? Mengobrol setiap saat? Bermain bersama? Tidak.
Rikkun sendiri sepertinya tidak terlalu peduli pada masyarakat yang mengucilkannya. Dia lebih memilih menenggelamkan dirinya dalam tumpukan bukunya. Tidak peduli bahwa penindasan padanya belum selesai. Tidak peduli ketika seragam sekolahnya dirobek dan dibuang. Tidak peduli ketika mejanya penuh dengan coretan ‘Mati’. Tidak peduli ketika serangga keluar dari loker sepatu atau mejanya. Tidak peduli ketika seember air kotor terguyur padanya. Putranya telah berubah menjadi seorang anti-sosial.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment