Anak itu menatapnya selama sejenak lalu memberikan gelengan kecil. Lalu, wajahnya kembali tunduk menatap buku yang berada di pangkuannya. Ck. Seharusnya, dia tinggalkan saja anak ini. Kenapa juga dia peduli? Toh, anak ini juga tidak mempedulikannya. Hmph, mungkin karena luka-luka di tubuh kecil itu, menerbitkan rasa kasihannya. Beberapa kali anak itu terbatuk pelan. Sakit? Ck, membuat rasa ibanya makin besar saja.
“Di mana rumahmu?”
Oke, lupa. Digoyangkannya tangannya kembali menghalangi buku yang dipangku anak itu. Anak itu kembali menatapnya. Tidak terlihat kesal. Datar, malah. Tanpa menjawab apa-apa, anak itu kembali menundukkan wajahnya. What?! Kurang ajar sekali anak ini. Tinggalkan sajalah. Anak tidak tahu sopan santun begini.
Dia pun beranjak pergi dengan kesal. Segera dia menghampiri rak favoritnya yang berisi novel-novel dengan kisah yang beragam. Dari yang romantis, fantasi, petualangan, dengan akhir yang bahagia maupun tidak. Butuh waktu setengah jam untuk memilih yang belum dibacanya dan yang menarik, tentu saja. Setelah menentukan pilihan, dibawanya dua buah buku pilihannya itu pada rekan kerjanya yang sedan bertugas menjadi resepsionis.
Seraya menunggu kode dari kedua buku itu dicatat, dilayangkannya tatapannya pada rak-rak yang berdiri kokoh. Hei, si rambut biru akhirnya beranjak!, serunya dalam hati ketika melihat anak itu melangkah keluar dari deretan-deretan rak. Si kecil itu melangkah melewatinya begitu saja dan berhenti di depan rak penyimpanan tas. Mengambil tasnya lalu beranjak keluar.
Silakan, bukumu. Otsukare.
“Ah, ya. Arigatou. Otsukare.”
Cepat-cepat dimasukkannya kedua buku itu ke dalam tasnya. Entah mengapa, dia tidak ingin kehilangan sosok kecil berambut biru itu. Mungkin rasa penasaranlah yang menggerakkannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment