“So, what?”
PLAKK!
Aku tahu, bukan kata-kata yang akan menjawab pertanyaan sokku. Tapi, tamparan. Atau malah mungkin pukulan, tinju, ludahan, dan berbagai macam penghinaan lainnya. Tidak akan ada yang tersenyum kecil mendengar kesinisanku sekarang. Lebih tepatnya, tidak ada yang mampu untuk menarik naik ujung-ujung bibir mereka hanya untuk memaksakan sepotong senyum. Puluhan pasang mata dibasahi oleh air mata. Ratusan wajah dihiasi oleh kesedihan. Tak ada kegembiraan atau keceriaan setitik pun. Tapi, itu wajar. Siapa yang mampu bergembira sekarang? Seseorang telah pergi untuk selamanya. Seseorang telah meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun perpisahan. Pergi begitu saja.
Mereka berteriak. Mereka menangis. Mereka jatuh.
Tapi, aku tidak.
***
“Hei, Ruth. Ayolah. Mau sampai kapan bersedih? Sudah seminggu lewat.”
“Kau tahu apa, sih, Resse? Kau tidak menangis waktu pemakaman Rev. Kau bahkan tidak sedih sama sekali! Padahal kukira, kau adalah sahabat terdekat Rev. Sahabat terbaik Rev!”
Aku diam saja mendengarkan ocehan Ruth, sahabatku. Anak perempuan dengan rambut coklat berombak yang wajahnya biasa saja. Tapi, mulutnya pedas atau lebih tepatnya, blak-blakan seperti selayaknya anak perempuan seusianya. Selalu mengucapkan apapun tanpa dipikir terlebih dahulu. Cerewet dan sedikit egois.
“Mungkin kau juga takkan menangis kalau aku mati. Kalau Mrs Jane mati, kalau Mr Phillipe mati, kalau Kay—“
“Stop it. Kau tidak berencana membunuh seluruh isi panti asuhan ini, kan? Oh, tunggu. Kau takkan mampu melakukan semua itu, tentu sa—”
“Berapa orang sahabat yang harus mati supaya kau bisa menangis, Resse?!”
Aku menghembuskan napasku keras-keras. Seminggu ini, topik ini yang terus-menerus dibahas. Rev, Rev, dan Rev. Tidak ada topik lain. Anak-anak hampir tidak bisa kembali ke dalam rutinitas harian mereka. Sekolah, bermain, mengerjakan PR. Mereka sekolah biarpun tak berminat, mereka mengerjakan PR seadanya, tapi mereka sama sekali tak mampu bermain. Ruang tengah yang biasanya ramai di sore hari seperti ini, sekarang tenang. Hanya terdengar suara televisi yang ditonton oleh anak-anak balita, anak-anak yang masih mudah dialihkan perhatiannya. Sisanya? Hanya duduk-duduk dengan buku atau mainan di depan mereka. Buku yang tak terbaca, mainan yang dimainkan tanpa semangat. Panti asuhan ini seakan menolak untuk bangkit dari masa duka.
Karena Rev yang pergi.
Ya, Rev.
***
Musim dingin.
Kau tahu, waktunya bermain salju. Di halaman seluas setengah lapangan sepakbola, mereka bermain. Bukan cuma main lempar bola salju atau membuat orang-orangan salju, ada kisah di balik permainan mereka. Ada raja, ratu, putri, dan pangeran. Raja Rev, Ratu Kelly, Putri Ruth, dan Pangeran Tom. Tidak ada aku? Memang tidak ada. Aku tidak pernah suka menjadi anggota dari keluarga inti kerajaan. Aku lebih suka menjadi jendral. Karena jendral tidak disembah-sembah setiap saat. Jendral selalu ada untuk melindungi keluarga kerajaan. Jendral juga yang paling pintar karena selalu menyusun strategi peperangan. Bagiku, jendral terdengar lebih keren daripada raja ataupun pangeran. Lagipula, aku tidak cocok menjadi raja. Mm, mungkin aku cocok jadi pangeran. Tapi, berpasangan dengan Putri Ruth? No, thanks. Aku belum mau tertular bodohnya yang tak bisa diobati itu.
Permainan kami tak pernah tak berkisah dan tak pernah sama serta tak pernah umum. Kalau anak-anak biasa bermain kejar-kejaran, kucing dan anjing, ikan dan pelikan, bebek dan entah apa, kami tidak. Selalu ada tambahan atau modifikasi hasil dari pemikiranku, Rev, dan Ruth. Walaupun lebih sering Rev yang menyumbang ide. Permainan kejar-kejaran dibuat menjadi sebuah permainan kaki dan mulut. Kaki untuk berlari, mulut untuk mendebat. Kalau tertangkap, masih ada mulut yang bisa mendebat untuk melindungimu atau mungkin, malah semakin menjerumuskan dirimu pada si pengejar. Kejar-kejaran tidak lagi menjadi permainan dengan perjuangan masing-masing individu yang berusaha tidak tertangkap, kami membuatnya menjadi berpasangan dan tim. Kisahnya? Dunia fabel yang terputar balik. Kucing mengejar anjing, ikan mengejar pelikan, kelinci mengejar ular, bebek mengejar beruang kutub. Dan tentu saja, permainan ini harus siap untuk dimainkan oleh delapan puluh orang anak.
Tanpa Rev, mungkin takkan pernah tercipta permainan yang menyenangkan untuk dimainkan delapan puluh orang sekaligus. Bukan hanya delapan puluh orang sebagai figuran tapi delapan puluh orang sebagai pemeran utama yang tak diizinkan untuk hanya duduk diam, menonton, dan menyoraki.
“Apa serunya jadi jendral?”
Aku menoleh, sedikit terkejut mendengar suara Rev. Anak laki-laki berambut pirang cepak dan beriris mata biru itu tiba-tiba saja sudah duduk di lantai beranda, di sisiku.
“Apa serunya jadi raja?”
“Tidak sopan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, Resse.”
“Tapi, kau tahu, aku lebih suka mengembalikan pertanyaanmu daripada menjawabnya langsung.”
Rev menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk senyum lurus sebelum menjawab pertanyaanku. “Jadi raja itu menyenangkan. Cuma duduk tapi bisa melihat apa saja yang dilakukan rakyatnya. Kalau diperlukan, raja juga bisa ikut bergabung dengan rakyatnya. Raja bisa beristirahat sesuka hati. Raja juga pasti dituruti dan dihormati oleh rakyatnya. Raja bisa memerintah sesuka hati... Giliranmu, Jendral.”
“Yah, kau suka memerintah, aku... suka diperintah? Kau... punya kharisma pemimpin, aku tidak? Jendral itu menyenangkan bagiku. Kalau raja, ratu, pangeran, dan putri dalam bahaya, yang menolong jendral, kan? Kalau ada perang, jendral juga yang maju pertama kali, kan? Nah, jendral itu paling keren. Kalau pulang dari perang yang membuahkan kemenangan, siapa yang paling dielu-elukan? Jendral.”
“Kalau kalah?”
“Jendral juga yang dihina-hina.”
“Nah, apa asyiknya?”
Aku menatap sahabatku, agak lama sampai alis Rev bertaut menunjukkan kebingungan. “Karena itu berarti, raja, ratu, pangeran, dan putri tidak perlu menanggung hinaan apapun. Karena kesalahan murni milik jendral dan jendrallah yang akan menanggungnya sendiri. Semua hinaan untuk anak buah jendral pun ditanggung oleh si jendral.”
“Apa asyiknya?” tuntut Rev tak mengerti.
Aku terdiam, memilih kata-kata yang cocok supaya mudah dicerna oleh sahabatku. Dan ketika bicara, aku menatap anak-anak yang masih bermain di lapangan alih-alih sahabatku yang sedang menanti jawaban. “Asyik karena aku tak perlu melihat sahabatku bersedih.”
Hening sejenak. “Berapa umurmu, Resse?”
“Retoris, Rev.”
Senyum lebar pun sama-sama menghiasi bibir kami.
***
0 comments:
Post a Comment