Aku iri pada Cinderella.
Aku tidak tahu apakah wajahnya cantik atau tidak. Aku juga tidak tahu apakah tubuhnya sekurus lidi atau berlekuk seperti gitar Spanyol. Tidak ada satu pun kisah tentang Cinderella yang memberikan deskripsi jelas seperti apa Cinderella itu. Hanya dikatakan bahwa Cinderella adalah gadis yang tidak bahagia karena ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak dua, yang sayangnya, janda ini bukanlah ibu yang baik bagi Cinderella karena kasih sayangnya hanya untuk kedua anaknya sendiri. Cinderella diharuskan untuk bekerja seharian dan hanya diperbolehkan untuk duduk di dekat perapian ketika malam tiba. Dari situlah dia mendapat julukan Cinderella, karena ada banyak abu di dekat perapian dan bahasa Inggris dari abu adalah cinder. Tapi, dengan segala kesialan yang dimilikinya, Cinderella mendapatkan akhir hidup yang bahagia. Menikah dengan Pangeran, tinggal di istana, hidup bahagia selamanya.
“Hmph. Aku juga mau.”
Tapi, mana ada ibu peri betulan di dunia nyata? Tidak ada dan aku tidak percaya pada ibu peri. Karena itu, aku iri pada Cinderella yang hidup di negeri dongeng, negeri yang segala sesuatunya bisa terkabul.
“Mau coba?”
“Hah?”
Tring.
...
“Oh, maaf,” tapi nadanya tidak terdengar seperti meminta maaf, “aku calon ibu peri yang baru belajar.” Seorang wanita yang dikelilingi oleh kilau berwarna hijau menatapku dengan ekspresi geli. Geli, bukan merasa bersalah. “Dan aku baru belajar satu mantra.”
“Kwek!”
“Aku tidak tahu kalau mantra itu untuk mengubah manusia jadi bebek...”
“KWEEEK!”
Aku marah. Mana ada ibu peri yang bodoh begini di negeri dongeng? Ibu peri selalu kelihatan sempurna dan penuh dengan keajaiban. Ibu peri selalu datang untuk mengabulkan apapun keinginan kita! Bukan menghancurkan wujud seperti ini!
Aku melangkahkan kedua kakiku yang pendek dan berselaput dengan marah. Dalam versi manusia, aku akan terlihat menghentak-hentakkan kaki dan membuat jejak yang dalam pada tanah yang kupijak. Tapi, dalam versi bebek, bagaimana tampang marahku? Memangnya bebek bisa menghentakkan kaki dan berekspresi marah serta menaikkan darah ke kepala sampai muka berwarna merah? Memangnya seperti apa tampang bebek yang sedang marah?
“Lucu.”
“KWEEK!”
Aku menoleh dan melihat seekor kucing yang sedang bergelung nyaman di akar-akar pohon dan menyeringai menyebalkan.
“Bercanda, Bek.” Kucing itu melepaskan gelungannya lalu melangkah ke arahku. Aku waspada. Aku tidak tahu apakah kucing juga makan bebek. Setahuku, kucing itu temannya macan. Jadi, waspada saja tak apa-apa, kan? Kucing itu sampai di depanku dengan tampang yang masih menyeringai menyebalkan. “Aku mau minta tolong, Bek.”
Aku memalingkan muka. Aku tidak mau membantu kucing yang menghinaku.
“Kau bantu aku,” kucing itu berbicara lagi, “aku akan bantu kau kembali jadi manusia dan menemukan akhir bahagiamu seperti... Cinderella.”
Aku bertahan pada posisi memalingkan mukaku. Tapi, aku tidak tahan. Aku ingin kembali jadi manusia dan aku... ingin memiliki akhir bahagia seperti Cinderella. Anak perempuan mana sih yang tidak mau hidup bahagia selamanya seperti dalam kisah-kisah dari negeri dongeng? Anak perempuan mana yang tidak ingin bertemu dengan Pangeran yang kaya raya, tampan, dan punya kastil yang luar biasa besarnya, lalu menikah dengan sang Pangeran? Yang pasti, aku mau. Karena itu, aku menoleh dan menatap kembali kucing tadi dengan tampang yang masih diangkuh-angkuhkan. Kucing itu tersenyum lebar, mengingatkanku pada kepala sekolahku yang suka melebarkan senyumnya sebelum memberikan hukuman lari 20 kali keliling lapangan.
“Cinderella sudah berubah menjadi seorang gadis yang pemarah.”
Kucing itu bicara sambil berjalan dan aku mengikutinya dengan tampang bingung. Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh si kucing. Siapa Cinderella? Jangan bilang kalau Cinderella yang dimaksud oleh si kucing adalah Cinderella bersepatu kaca yang menikah dengan Pangeran dan hidup bahagia selamanya! Jangan bilang kalau Cinderella yang ini adalah Cinderella yang sama dengan Cinderella yang selalu membuatku iri itu!
“Iya,” si kucing menghembuskan napas keras-keras, “Cinderella yang itu.”
Aku melongo. Bebek ini ternganga. Aku tidak menyangka kalau... kalau Cinderella itu benar-benar ada! Dan inikah... inikah negeri tempat tinggal Cinderella? Aku mendongak untuk melihat langit, menunduk untuk melihat rerumputan yang kuinjak, menoleh untuk melihat pemandangan di sekitarku, lalu tatapanku kembali pada si kucing lagi. Tatapanku menyiratkan protes. Bohong!
Si kucing menghela napas. “Segala yang bisa dilempar, akan dilemparkan. Segala yang bisa ditendang, akan dilesakkan dan dipenyokkan dan dibuang ke tempat yang jauh. Segala hal yang berpotensi untuk menaikkan amarah Cinderella, akan disingkirkan sesegera mungkin.
“Kau lihat sendiri akibatnya pada negeri dongeng, langit bermuram durja dan warnanya berubah dari biru cerah menjadi jingga cerah. Langit juga menangis dan musim hujan hampir selalu datang setiap hari. Bumi yang semula hijau sekarang menjadi coklat, secoklat air teh. Butiran pasir berubah menjadi batu-batu coklat dan besar, membuat banyak orang tersandung. Lautan ikut bersedih dan warnanya berubah menjadi merah merona. Dan kastil Pangeran yang semula berwarna merah bata ceria, kini menjadi putih pucat dan tak ada setetes warna pun yang bisa memulihkannya. Yang lebih parah, Cinderella tak pernah mengenakan gaun biru cerahnya lagi. Semua pakaiannya telah berubah menjadi hitam kelam.
“Dunia dongeng berada dalam bahaya. Dan peramal kerajaan mengatakan bahwa seekor bebek akan datang dan menyelamatkan negeri kami!"
"Kwek?"
Aku tidak mengerti, seperti kebanyakan para pahlawan penyelamat dalam negeri dongeng... bukan itu maksudku. Aku ingin protes, bagaimana mungkin bebek yang tak bisa bicara sepertiku bisa menyelamatkan negeri dongeng?!
"Kita sudah sampai."
Aku menoleh cepat lalu mendongak dan aku... ternganga. Ini istana, kastil, puri, apapun kau ingin menyebutnya. Besarnya benar-benar besar. Dan warnanya benar-benar putih bersih. Dan pintu terbuka. Dan... dan kami melangkah masuk ke dalamnya! Aku benar-benar tidak bisa percaya! Mengapa aku memasuki kastil seindah ini ketika wujudku bebek begini?! Mengapa bukan ketika aku berwujud manusia, hah?!
"Hati-hati."
"Kwe--gh."
Sebuah bantal mendarat di wajahku. Dan bantal lainnya, dan bantal lainnya, dan aku—memutuskan untuk—terjengkang.
"Yang Mulia." Si kucing membungkuk takzim, setakzim yang kucing bisa. "Hamba membawa sang pahlawan. Dan seperti ramalan peramal kerajaan, dia diharuskan untuk tinggal sekamar dengan Yang Mulia."
"Mana bebeknya? Itu? Bebek jelek macam itu?! Jangan bercanda! Dia bahkan tidak bisa bertahan di atas dua kakinya setelah kulempari bantal!”
Dan sebuah bantal melayang kembali ke arahku. Aku masih terjengkang dan tak berminat untuk bicara atau protes karena aku tahu, paruhku ini hanya bisa mengeluarkan satu jenis kata.
“Sabar, Yang Mulia. Bebek memang hewan lemah. Tapi, biarkan dia mencobanya dahulu. Bagaimana kalau kita masukkan dia ke dalam kandang bebeknya saja, Yang Mulia?”
...
Tidak ada suara. Aku tergoda untuk mengangkat kepala dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh si kucing dan Cinderella. Tapi, aku takut pada Cinderella. Putri itu benar-benar tidak seperti bayanganku. Aku memang iri pada sosoknya yang sangat sempurna. Dan harusnya, aku senang melihat kenyataan bahwa Cinderella tidak sesempurna itu. Tapi, melihat ketidaksempurnaannya secara langsung itu... aku... aku merasa tidak sanggup.
* * *
“Jadi, kau yang akan menyelamatkan negeri dongeng?”
Aku sudah berada di dalam kandang bebek—walaupun menurutku lebih mirip kurungan ayam—dan sang Cinderella... mengenakan gaun dengan model yang biasa dikenakan Cinderella pada ilustrasi buku anak-anak, hanya saja, warnanya hitam. Rambutnya pirang disanggul, wajahnya dipulas make-up yang agak tebal, tubuhnya tidak kurus dan tidak seksi. Cinderella terlihat biasa saja di mataku. Ngomong-ngomong, aku cuma bersuara “Kwek” ketika Cinderella bertanya padaku.
“Aku tidak mengerti,” kata Cinderella sambil menghentak-hentakkan kakinya dan melemparkan bantal dengan penuh amarah. “Aku tahu akan ada bebek. Tapi karena ini negeri dongeng, kukira bebek yang akan muncul bisa berbicara atau setidaknya... aku bisa mengerti maksud dari kwek bebek seperti aku mengerti miaow si kucing! Tapi, kwek-mu terdengar seperti bunyi kwek biasa. Aku dibohongi!”
“Kwek!” Aku mencoba. Dan yang ingin kukatakan adalah, “Aku juga tidak mengerti! Aku... aku cuma anak perempuan berusia lima belas tahun yang setiap hari harus membantu ibu berjualan kue di sekolah-sekolah! Aku cuma anak perempuan biasa yang ingin hidupnya jadi lebih baik! Aku cuma anak perempuan yang IRI pada Cinderella dan disihir jadi bebek oleh ibu peri bodoh! Bah! Dan aku benci pada Cinderella! Hidupnya terlalu sempurna! Aku juga mau menikah dengan Pangeran! Aku juga mau tinggal di kastil! Aku tidak mau tinggal di rumah kecil yang banjir setiap hujan turun! Aku tidak mau tidur di tempat tidur yang keras! Aku juga mau jadi Cinderella!!”
Cinderella cuma diam dan raut wajahnya tidak berubah sedikit pun setelah mendengar kwek-ku. Kuasumsikan, Cinderella tidak mengerti maksud dari—luapan emosi—kwek-ku.
Sedetik, dua detik, berlangsung dalam keheningan. Jantungku berdebar-debar menanti gerakan atau suara dari Cinderella.
Sebuah bantal menghantam kurunganku. “KAU TAHU APA?!”
Kurunganku diangkat dan aku cepat-cepat kabur karena... Cinderella membawa vas besar yang pasti akan segera dilemparkan ke arahku!
PRANG!
“Kau tidak pernah tinggal di kastil sebesar ini! Kau TIDAK PERNAH menikah dengan Pangeran! Apa kau pikir gampang, hah?!”
Sebuah piring lewat tepat di atas kepalaku.
“Aku harus memakai sepatu kaca berhak tinggi setiap hari supaya tidak terlihat memalukan ketika berdiri di samping Pangeran yang terlalu tinggi!”
Sepasang sepatu kaca mengenai tubuhku.
“Aku harus selalu menjaga berat badanku, bentuk tubuhku! Aku harus selalu mengenakan korset yang membuatku sesak napas supaya perutku terlihat langsing! Aku tidak boleh makan di atas jam tujuh!”
Tumpukan korset dilemparkan ke arahku.
“Kau tahu jadwalku? APA KAU TAHU JADWALKU?!”
Setumpuk kertas menghantam leherku dan aku terjatuh.
“Jam lima aku bangun dan mandi dan berdandan dan mengenakan pakaian brengsek yang membuat napasku sesak!”
Sebuah gaun biru menguburku.
“Jam enam sarapan dua butir apel! Lalu aku harus belajar berdansa, biola, piano, memanah, berkuda, berkebun, menyanyi, balet, memasak, merangkai bunga, membuat teh, table manner! Apa kau belajar semua itu?
“Dan setelah semua itu, PANGERAN SELINGKUH! Dia meninggalkanku sendirian! SENDIRIAN, kau dengar?!”
Aku meneguk ludah.
Cinderella benar-benar menyeramkan. Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan Cinderella yang membuatku selalu iri. Ini Cinderella yang berbeda. Cinderella itu sempurna, pujaan setiap anak perempuan di seluruh dunia. Cinderella itu... Cinderella itu mimpiku! Aku ingin menjadi Cinderella! Cinderella yang selalu membuatku iri—tapi juga selalu kupuja—itu tidak boleh seperti ini! Cinderella harus sempurna!
Aku merangsek keluar dari timbunan gaun biru Cinderella. Aku menjejakkan kedua kaki berselaputku dengan penuh tekanan ke atas karpet.
“KWEK!”
Puh! Aku mau bicara! Aku mau bilang begini, “TERUS KENAPA?! Kalau capek jadi putri, ya istirahat sana! Memangnya kalau marah-marah begitu ada gunanya? Cuma menambah keriput dan menjelekkan muka! Sudah tambah jelek, Pangeran kabur, apes banget sih!”
PRAANG!
“DIAAAAM!”
“KWEEEEK!”
Maksudku, “Tidak mau! Kau Cinderella jadi-jadian! Cinderella itu bukan pengeluh! Cinderella itu sempurna! Cinderella itu panutan! Cinderella tidak akan menyerah hanya karena hal-hal begini! Kalau Cinderella menyerah, mana mungkin Cinderella bisa menikah dengan Pangeran, hah?! Kalau bukan karena Cinderella yang ingin pergi ke pesta dansa, kalau bukan karena Cinderella yang berusaha menunjukkan diri pada Pangeran sehingga bisa mencoba sepatu kaca yang cuma sebelah, kalau bukan karena keberanian Cinderella, mana mungkin Cinderella bisa jadi Cinderella yang hidup bahagia selamanya?!”
“KAU... Kau... kau...”
Mulut Cinderella membuka tutup tapi tak ada suara yang keluar. Tubuhnya bergetar karena amarah yang menggelegak. Matanya menatapku dengan penuh kebencian. Tangannya terkepal erat. Aku menatapnya dengan galak.
Detik-detik berlalu dalam keheningan. Cinderella tidak tahu harus bicara apa. Aku diam menunggu.
“Kwek,” aku mencoba memecahkan keheningan. Sebenarnya, aku ingin mengatakan, “Kenapa... kenapa tidak berhenti jadi Cinderella saja? Mencoba pekerjaan lain. Kan Pangeran sudah pergi, tidak ada yang menahan Cinderella untuk tetap di sini. Cinderella bisa bertualang atau memanfaatkan pelatihan-pelatihan yang sudah didapat selama tinggal di kastil, kan? Siapa tahu Cinderella senang bermusik atau bernyanyi...”
Aku tidak melanjutkan kata-kata dalam hatiku. Cinderella masih tidak bersuara dan aku setengah takut pada Cinderella yang diam seribu bahasa ini. Aku menunduk, pura-pura tertarik pada karpet di bawahku dan pura-pura berusaha untuk melihat kaki berselaputku.
“Aku suka berkebun.”
Aku mendongak dan menatap Cinderella dengan ekspresi terkejut. Kaget karena Cinderella akhirnya menemukan suaranya.
“Kwek.” Aku memaki dalam hati, mengapa aku harus berbicara via telepati begini, hah? Aku ingin bilang begini, “Ya sudah, berkebun sana. Cari kebun, tanam tomat. Jangan jadi Cinderella lagi kalau tidak bisa jadi Cinderella. Merusak mimpi orang saja. Cih.”
“AH! Akhirnya kutemukan kau bebek kecil!”
Aku menoleh kaget dan melihat sosok menyebalkan yang mengubahku menjadi bebek dan tidak bisa bicara seperti ini. Aku menatap galak padanya dan mengeluarkan suara “KWEEK!” keras yang memekakkan telinga.
Ibu peri bodoh itu tertawa. “Maaf, maaf, aku sudah belajar mantra kedua lho. Ini, jadi begini.” Tongkat ibu peri itu diputar-putarkan dan aku menatapnya dengan ngeri.
Tring.
...
“AAAAAAHH!! Aku mau jadi Cinderella, IBU PERI JELEEEEK! AAAAAHHH!!!”
“SITI! DIAAAAM! INI JAM TIGA PAGI, TAUK!”
“Aaaaaaah!” Aku menghentak-hentakkan kaki manusiaku dengan kesal ke lantai. Ibu berisik! Aku mau jadi Cinderellaaaa! Ibu peri jelek! Aku baru mau menawarkan pada Cinderella untuk tukar posisi, tahu! Aku mau jadi Cinderella! Aku mau jadi Cinderellaaaaa!